welcome my blog's

Kamis, 27 Oktober 2011

Opini "Paradoksal Akar birokrasi"

oleh : ADE SATRIA MUSLIM
Divisi Advokasi Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian KemasyarakatanFakultas Hukum Universitas Andalas

Pra reformasi sebelum masa transisi 1998,  birokrasi dijadikan alat status quo bagi masyarakat guna mempertahankan dan mementingkan suatu kekuasaan monolitik.
Hubungan birokrasi dengan kepentingan politik kerap di dualismekan, tidak adanya pembatasan yang dilakukan lewat suatu kebijakan . Akibatnya,  birokrasi cenderung menjadi infinitas ( meluas yang tidak terbatas), terjadinya politisasi birokrasi yang menghasilkan pembusukan politik (politic fallacy) dan melemahkan peran serta kinerja dari birokrasi itu sendiri.
Pandangan teoritis ,birokrasi merupakan sebuah alat kekuasaan untuk menjalankan produk-produk politik , mengatur dan mewujudkan agenda-agenda politik. Namun dalam prakteknya , birokrasi telah menjadi kuasa ekstra sebagai alat kekuasaan, cenderung pula menjadi alat kekuatan politik yang melemahkan kekuasaan.
Dalam melaksanakan perannya, birokrat berpatokan pada asas legalitas dan freies ermessen; tetap berlandaskan pada landasan yuridis yang berlaku sehingga berhak untuk melakukan suatu tindakan pejabat Negara dalam suatu keputusan dengan tetap berada dalam koridor regulation.
Problem Birokrasi
Political and Economical Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong, menyatakan kondisi yang sudah klimaks dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Pada tahun 2000 Indonesia berada dalam point 8.0 dalam urutan skor dari 0-10 yang mana 0 berada dalam posisi terbaik dan 10 posisi terburuk.
Hal ini ditenggarai dengan banyaknya pejabat-pejabat publik yang haus akan sebuah kekuasaan dan cenderung memanipulasi data demi memperkaya diri sendiri. Dengan asumsi kepada kebebasan setiap orang untuk dipilih dan memilih , menjadikan posisi birokrasi sering di politisasikan demi untuk menduduki posisi dan pemenangan dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Undang-undang No 32 Tahun 2004 dalam pasal 1 menyatakan tugas dan wewenang yang diberikan kepada aparatur penyelenggara Negara dilakukan dengan system otonomi daerah yang mana diberikan kepada semua daerah untuk mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat sekitarnya. Penyelenggaraan itu dilakukan dari semua lini yang berkaitan dengan kepentingan publik. Pendidikan , transportasi, kebutuhan financial masyarakat, dsb , tidak luput dari sebuah tatanan kepengurusan dalam memaksimalkan penyelenggaran lewat petugas birokrasi.
Asas “good government “ tidak terlepas dari birokrasi yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Dengan reformasi yang terjadi, dapat merubah paradigma-paradigma pembusukan citra perpolitikan di Indonesia, serta buruknya kinerja dan kapasitas birokrat.
Bias Koruptif
Korupsi , kolusi dan nepotisme memiliki posisi tawar yang sangat besar. Banyak hal terjadinya suatu korupsi. Terutama dalam urusan penyelenggaraan pemerintah. Birokrat sering memanfaatkan wewenang menjadi super absolutely, sehingga ketika adanya suatu kebijakan, maka peluang untuk melakukan korupt akan semakin terbuka. Misalnya birokrasi dalam open recruitment sumber daya manusia yang seharusnya dilakukan lewat fit and proper test ,namun sering  terjadi suatu disintegrasi dengan adanya kolusi dan nepotisme .
Reward and punish! Hal ini menjadi suatu stategi pematangan birokrat yang dicanangkan oleh Presiden SBY. Dengan memberikan hadiah kepada pejabat publik  yang berprestasi dalam melaksanakan tugasnya dan memberikan hukuman bagi yang menyalah gunakan kedudukan dan kewenangan.
Namun pola tersebut kurang berjalan semestinya. Karena masih banyak terdapat hubungan kerja yang kolutif , diskriminatif dan tidak professional. Pejabat publik lebih tertuju keberpihakannya kepada kepentingan pribadi dibanding tugas pokok sebagai pelayan masyarakat.
“Sikap anarkisme yang sering terjadi dikalangan mahasiswa belakangan ini ,dapat dilakukan dengan penambahan mata kuliah Etika”, kata Rektor Universitas Mercu Buana(UMB) Arissetyanto Nugroho usai membuka acara di UMB selasa 10/5.
Seharusnya demi menjaga keutuhan dan pembangunan bangsa yang bebas dari budaya laten korupsi, pun dibutuhkan suatu pembelajaran dikalangan mahasiswa dengan penambahan mata kuliah anti korupsi.
Ketertinggalannya Sumbar
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan kemendagri dalam hal Evaluasi Kinerja dan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EKPPD) , Sumbar mendapatkan peringkat kedelapan dalam tatanan birokrasinya. Wapres Boediyono menyatakan pemeringkatan ini dilakukan sebagai bentuk pengakuan kepada daerah yang baik dalam melayani masyarakatnya. Akuntabilitas dan transparansi menjadi tolak ukur indikator penilaian, dan jika ada yang terlibat kasus hukum akan mengurangi penilaian.
Urutan kedelapan bukan urutan yang buruk, namun tidak membanggakan! Masih banyaknya kita lihat ditataran birokrasi Sumbar yang masih menunda-nunda pelaksanaan permohonan masyarakat. Misalnya dalam hal pembuatan  KTP. Dengan persyaratan yang rumit, masyarakat juga sering diperbodohi dengan alasan yang tidak rasional sehingga permohonan sering ditunda-tunda. PP No 38/2007 tentang pembagian urusan pemerintah, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sudah diperjelas. Sehingga , alasan yang digunakan oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam menunda permohonan masyarakat tidak relevan dengan regulasi yang dibuat yang secara subtansi tugas dan wewenang pemeritah daerah  tidak sebanyak dan serumit pemerintah pusat. Jadi, apakah professional pejabat publik kita yang sering menunda-nunda permohonan masyarakat? Ironisnya!

Jumat, 23 September 2011

opini "tendensi vonis bebas koruptor"

Oleh: ADE SATRIA MUSLIM

KETUA KAM PEMBAHARUAN DAN ANGGOTA LAM&PKFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS

Hakim adalah tangan kanan Tuhan di dunia. Hanya lewat hantaman palunya , hidup dan  mati seseorang bisa diputuskan dalam sebuah persidangan perkara pidana. Dengan begitu terlihat betapa besarnya kekuasaan hakim melalui pengadilannya. Maka kontrol atas kekuasaan hakim harus dilakukan.
Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya.
Hakim, menjadi  salah satu profesi di bidang hukum merupakan  sebuah jabatan yang mulia sekaligus beresiko. Mulia karena hakim memberikan keadilan bagi masyarakat sehingga independensi hakim menjadi tolak ukur keputusan yang bernilai objektif agar mendatangkan ketentraman dan perdamaian dalam masyarakat luas. Penuh resiko karena sebuah profesi tidak ada yang luput dari resiko terutama terhadap sebuah putusan yang dihasilkan oleh majelis hakim akan berhadapan dengan pihak yang dikalahkan dan opini publik yang buruk apabila putusan tersebut dinilai bertolak belakang dengan keinginan publik. Apalagi ketika hakim terjebak dalam permainan kotor dalam persidangan perkara yang memuaskan nafsu duniawi sesaat si hakim (mafia peradilan). Sehingga manusia yang menyandarkan harapan pada lembaga peradilan mnjadi bulan-bulanan atau alat pemuas nafsu si hakim. Dengan begitu terdapat ketimpangan dan nilai-nilai luhur hakim yang terkandung sudah ternoda dan luntur akibat tindakan irrasional hakim tersebut .
Sistem dan pelaksanaan penegakan hukum yang dapat menjelmakan pelbagai fungsi hukum dengan baik seperti fungsi kontrol sosial, fungsi menyelesaikan perselisihan, fungsi memadukan argument para pihak yang berpekara, fungsi memudahkan, fungsi pembaharuan, fungsi kesejahteraan, dsb. Terhadap fungsi-fungsi fundamental tersebut timbul pelbagai penafsiran yang berakhir kepada timbulnya permasalahan hukum. Terkait kepada sebuah putusan yang kontroversial yang timbul dari meja hijau, menjadi faktor penentu apakah fungsi-fungsi fundamental hukum sudah terlaksana dengan baik atau telah terjadi pengingkaran terhadap pelaku kekuasaan kehakiman yang tidak berfungsi menyelenggarakan peradilan yang baik guna menegakkan hukum dan keadilan seperti yang diamanatkan dalam pasal 24 UUD 1945.
Koruptor yang Kontroversial
Korupsi merupakan sebuah tindak pidana khusus yang diatur dalam undang-undang yang penjelmaan subtansi secara khusus  tidak terdapat dalam KUHP . Kejahatan ini menjadi sebuah kejahatan luar biasa sehingga penyelesaian permasalahan hukumnya harus ditempuh lewat pengadilan yang bersifat permanen (pengadilan tindak pidana korupsi atau  tipikor ). Dalam pengadilan tipikor  , hakim yang menangani perkara bersifat campuran yaitu seorang hakim karir dan dua orang yang dipilih secara ad hoc yang berasal dari akademisi hukum ataupun praktisi. Sehingga seharusnya komposisi hakim yang demikian menunjukkan kualitas, mentalitas, dan integritas serta track record hakim bersangkutan yang mumpuni dan terpercaya karena melewati proses penyeleksian hakim yang ketat.
Namun , menyimak pemberitaan pengadilan tipikor Bandung yang memvonis bebas terdakwa korupsi walikota non-aktif Bekasi kemaren ini semakin menyesakkan dada karena ini sudah keempat kalinya pengadilan itu mencampakkan jerat hukum  sang Jaksa KPK . Dengan alasan menegakkan prinsip equality before the law  dan presumptio of innounce yang berarti menjadikan setiap orang harus dipandang sama di depan hukum dan setiap orang harus dianggap tidak bersalah terlebih dahulu sampai adanya putusan hakim yang bersifat in kracht. Melalui alasan ini hakim membebaskan terdakwa korupsi yang salah satunya telah merugikan negara lebih dari 1.6 Miliar rupiah (Kompas 13/10).
Dalam kasus korupsi yang diadili lewat pengadilan tipikor Bandung tersebut, pihak terdakwa divonis bebas oleh majelis hakim karena pembuktian-pembuktian yang dihadirkan dalam persidangan tidak cukup kuat untuk menarik kesimpulan dan meyakinkan hakim dalam putusan. Hakim memiliki kewenangan yang besar dalam persidangan, selain pembuktian lewat alat-alat bukti yang ada, hakim juga memiliki penafsiran sendiri lewat keyakinannya berdasarkan asas pembuktian negatif atau  negatif wettelijk yang dianut oleh hukum kita. Terdakwa korupsi terlebih dahulu didakwa subsidair oleh jaksa penuntut dari KPK dengan empat dakwaan sekaligus. Bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan oleh penuntut umum sekitar  42 saksi, dan ada 320 alat bukti dokumen yang disita secara sah oleh penyidik KPK yang dijadikan sebagai bahan pembuktian (Kompas 13/10). Namun hakim berasumsi lain , bahwa pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum tidak cukup kuat sehingga terciptalah sebuah vonis bebas.
Majelis hakim yang menangani kasus korupsi ini yang terdiri dari tiga orang, berdasarkan historis pengalaman menangani pada kasus yang sama sebelumnya, dua diantara majelis hakim tersebut juga pernah memvonis bebas terdakwa korupsi. Bahkan salah satu hakim non-karir ini pernah menjadi seorang tersangka kasus korupsi dana overhead di perusahaan PT Bumi Siak Pusako senilai 194.496 dollar AS atau sekitar Rp 1,8 miliar yang akhirnya divonis bebas . Opini publik otomatis secara tidak langsung menakar keobjektifitasan hakim tersebut. Hakim yang merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang bebas, mandiri dan berintegritas tinggi, seakan-akan sekarang sudah lemah dan nyaris dipermainkan oleh kepentingan dan uang. Korupsi menjadi sesuatu yang paling dibenci oleh masyarakat luas karena pembiasan dari tindakan korupsi ini sangat luas dan bahkan bisa memiskinkan negara namun juga sesuatu yang paling diminati oleh para petinggi dan penguasa bangsa ini. Sehingga apabila menyangkut dengan kasus korupsi, maka profesionalitas koruptor akan bisa terlihat, dan radiasinya bisa saja meluas kepada majelis hakim. Sehingga akan terjadinya sebuah perlawanan antara nilai-nilai keobjektifitas hakim vs kepentingan yang digauli oleh politik uang.
Profesi hakim tidak luput dari etika yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini Komisi Yudisial menjadi lembaga pengawas terhadap perilaku hakim “nakal” tersebut . Komisi Yudisial harus segera meneliti dan mengusut tuntas hakim yang terang-terangan berselingkuh tersebut. Nilai-nilai keberpihakan dan keobjektifitasan hakim bisa dilakukan pengawasan apabila adanya terdapat sebuah putusan yang kontradiktif dan bertolak belakang dari apa yang diinginkan oleh masyarakat pada umumnya (das sollen). Meskipun adanya upaya-upaya hukum yang berhak dilakukan oleh pihak yang kalah, dalam hal ini KPK sebagai penuntut umum dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung, jika integritas dan keprofesionalitas hakim yang menangani perkara ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh publisitas pencari keadilan , maka putusan yang akan dihasilkan tidak akan jauh beda dari putusan peradilan sebelumnya. Sehingga adagium yang berkembang dalam masyarakat  bahwa hukum itu tumpul ke atas dan runcing ke bawah menjadi semakin melekat, hukum bengis terhadap pelaku kroco dan ramah terhadap penjahat intelektual sehingga  kepercayaan publik akan aparat penegak hukum akan semakin luntur dan tidak berbunyi.***

Senin, 19 September 2011

Opini " Mahalnya Senila Keadilan"

Oleh : ADE SATRIA MUSLIM
KETUA KAM PEMBAHARUAN DAN ANGGOTA LAM & PK
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS

Belum lekang kasus koruptor yang berkeliaran menjejal pelosok negeri. Demi membela diri , pelaksana peraturan masih belum mampu untuk mengatasi pelaku-pelaku korupt yang sudah menggoyahkan kestabilan bangsa sehingga masyarakat dijadikan sebagai penonton para elit-elit bangsa dalam berskenario dan syarat akan kepentingan dalam menegakkan hukum di negeri ini, sekarang publik dikejutkan dengan ancaman hukuman penjara terhadap Prita Mulya Sari atas kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Pemerintah masih belum mampu menghapus stigma masyarakat terhadap keadilan yang hanya untuk kalangan-kalangan orang yang berduit. Sehingga masyarakat kelas bawah sering menjadi korban keadilan yang bersifat kaku dan masih berlandaskan kepada aturan yang baku. Dengan asumsi  mempertimbangkan asas pembukian negative yang diterapkan di Indonesia , sehingga hakim dalam memutuskan perkara tunduk kepada aturan baku meskpiun juga berdasarakan keyakinan hakim.
Namun, para pencari keadilan lagi-lagi dikejutkan dengan dilema keputusan aparatur yudisial dalam menegakkan “aequo et bono” . Kasus Prita , seseorang yang dituduh telah melakukan perbuatan pencemaran nama baik, yang pada awalnya merupakan suatu tindak kekesalan terhadap pelayanan yang kurang maksimal oleh rumah sakit Omni Internasional kepadanya, sehingga prita membeberkan kedunia maya tindak kekesalan kepada teman-temannya, dan tidak disangka tersebar sehingga langsung mendapat reaksi yang tidak berjiwa besar dilakukan oleh rumah sakit tersebut.
KEKEJAMAN KEADILAN
Penegakan hukum atau Law Enforcement sering mandul akibat degradasi moral yang terdapat dalam diri aparatur penegak hukum itu sendiri. Keadilan seakan-akan menjadi barang yang dapat di komersil kan  sehingga kalangan elit yang beruang , menjadikan lahan yang subur untuk menggelapkan sisi keadilan demi mencapai keuntungan.
Putusan pengadilan Negeri Tanggerang yang membebaskan Prita dari kurungan penjara dan putusan MA terdahulu untuk tidak membayar ganti rugi, ternyata belum memiliki kekuatan hukum (in kracht van gewisjde) . Pasalnya, publik dikejutkan dengan putusan Mahkamah Agung baru-baru ini yang memenangkan kasasi penuntut umum dalam kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang. Sehingga kembali prita diseret ke meja hijau dan dijadikan sebagai terdakwa. Kejaksaan Agung menuntut ke Mahkamah Agung agar putusan pengadilan negeri Tangerang dibatalkan yang membebaskan Prita dari tuntutan pidana dan perdata. Alhasil, Mahkamah Agung menerima kasasi Kejakgung , namun yang diterima hanya permohonan dalam pembebasan Prita dari tuntutan pidana , sedangkan tuntutan perdatanya tidak dikabulkan.
Terlepas dari kualifikasi jenis kasasi yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung , hal ini menjadi sangat reaktif bagi masyarakat, sehingga banyak yang secara spontan mengkritisi tindakan MA ini merupakan penzaliman terhadap hak orang yang sedang mencari keadilan. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang tertuang dalam konstitusi merupakan kewajiban Negara (legal Obligation) , sehingga setiap tindakan Negara harus memperhatikan aspek perlindungan terhadap setiap warga.
Dalam sebuah keputusan, pendekatan secara normatif memang dituntun, namun tidak menutup kemungkinan Hakim harus mempertimbangkan aspek keadilan dan dampak dari sebuah putusan tersebut. Masih teringat “Koin Untuk Prita” sebagai bentuk wujud keprihatinan masyarakat di seluruh Indonesia terhadap minimnya keadilan terutama terhadap rakyat miskin. Namun hal tersebut tidak menjadi bomerang bagi aparat penegak hukum yang lebih memperhatikan aspek normatif dibanding keadilan. Hal ini jelas-jelas merupakan pelecehan terhadap konstitusi bahkan terhadap filsafat dasar Negara Pancasila yang tertuang dalam pasal ke-5.
Seperti yang penulis kutip dari website Mahkamah Agung , Ketua MA dalam pidato peresmian 14 Gedung Pengadilan yang dipusatkan di Pengadilan Tinggi Denpasar pada Kamis, 30 Juni 2011 sehingga menjadi sebuah opini publik yang menyatakan keadilan adalah roh hukum dan mutlak tidak dapat terpisahkan . pernyataan yang sangat kontradiktif bila kita sinergikan dengan realita yang ada sekarang, karena kasus Prita ini mendatangkan reaksi yang sangat keras terhadap badan peradilan yang agung tersebut. Kode etik aparat penegak hukum pada setiap tindakan pidana harus diperhatikan dan sesuai dengan patokan-patokan moral dan etika yang tinggi sehingga tidak menimbulkan praktik-praktik kesewenangan terhadap terdakwa.
IMPLEMENTASI UU ITE
Kasus Prita ini diseret ke meja hijau dengan dijerat pasal 27 ayat 3 UU nomor 11 tahun 2008 tentan Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" menjadi sebuah paradigma baru yang melibatkan berbagai pihak. Hakim MK, Mahfud MD menyatakan secara subtansi UU ITE ini sudah benar mengingat banyaknya cara-cara yang  dilakukan berbagai pihak untuk melakukan pencemaran nama baik lewat dunia maya ,baik secara institusi maupun perorangan. Dan penyebaran dalam dunia maya ini sulit untuk dihapus.
Namun yang menjadi problema dari dampak UU ini, penempatan dan pembuktian yang tidak objektif yang dilakukan aparat penegak hukum. Seharusnya dalam menerapkan pasal yang akan dijerat kepada tersangka, kejaksaan harus jeli dan bijak mengkaji tindak pidana yang terjadi. Dikaitkan dengan kasus Prita, sebaiknya tim penyidik lebih optimal dalam menindak apakah memang terbukti sebagai pencemaran nama baik atau tidak. Hal ini bisa dilakukan dengan menelusuri dan menginvestigasi apakah keluhan Prita lewat dunia maya ini benar atau palsu sehingga didapati hasil yang lebih objektif. Kalaupun Prita ternyata terbukti bersalah karena tuduhan-tuduhannya itu tidak cukup bukti dan menjadi unsur pemfitnahan atau pencemaran, baru bisa dijera dengan UU ITE ini.
Namun kasus Prita ini langsung dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran nama baik lewat informasi elektronik, seakan-akan rumusan pasal UU ITE ini menjadi multi tafsir dan lentur. Sehingga berdampak akan sebuah ketakutan pengekangan terhadap kebebasan berekspresi bagi setiap orang dalam menyampaikan pendapat / keluhan dan pembungkaman terhadap kebebasan masyarakat!

Rabu, 20 Juli 2011

opini " dikotomi perlindungan manusia dengan sapi"


Oleh :ADE SATRIA MUSLIM
KETUA KAM PEMBAHARUAN DAN ANGGOTA LAM & PK
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS

Memang sangat ironis sekali, sengaja penulis bandingkan dengan seekor binatang yang mendapatkan perlindungan oleh Negara asalnya ( Australia ) untuk pemberhentian ekspor ke Indonesia dengan dalih pembantaiannya tidak berperi_kebinatangan ,  karena betapa mirisnya hati kita melihat dinamika keadaan bangsa sekarang, jangankan manusia, binatang saja dilindungi oleh Negara kangguru tersebut .
Sedang booming nya kasus seorang TKI dari Arab , Ruyati binti Satubi  yang tiba-tiba kita dikejutkan dengan beritanya yang telah dihukum pancung oleh algojo dari Arab pada hari Sabtu (18/6)  yang disinyalir dia telah melakukan pembunuhan terhadap perempuan Saudi Khairiya binti Hamid Mijlid . Sangat disayangkan tindakan eksekusi dari Negara timur tengah yang tidak adanya koordinasi dengan Kedutaan besar Arab Saudi , namun dalam hukum pidana Islam di negara pusat penyebaran agama Islam tersebut , memang mengatur hukuman pancung bagi setiap terdakwa yang telah di vonis bersalah melakukan pembunuhan, sepertinya fiat justitia roet coelum (walaupun langit akan runtuh, hukum/keadilan haarus tetap ditegakkan ) sangat melekat dalam peraturan legislasi  negara Arab. Jadi secara yurisdiksi kita tidak bisa untuk mengobok-obok aturan dasar Negara tersebut .
Memang Indonesia bukan Negara pertama yang mendapatkan hukuman pancung tanpa pemberitahuan sebelumnya, sudah terlebih dahulu Negara-negara yang juga mengirimkan Migrant (tenaga kerja) nya ke Arab seperti India dan Nigeria. Meskipun Dubes Arab Saudi telah mengeluarkan permohonan maaf kepada Kementrian Luar Negeri dan berjanji agar hal-hal seperti ini tidak akan terjadi lagi kedepannya, namun reaksi keras telah ditunjukan oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. Mulai dari Lembaga Swadaya Masyarakat, mahasiswa, tokoh-tokoh masyarakat sampai ke tukang becak mengecam tindakan yang sangat reaktif dari pemerintahan Arab Saudi tersebut.
Tindakan yang sangat reaktif ini bukan pertama kali terjadi kepada para TKI, kasus Ruyati merupakan rentetan perjalanan kasus kekerasan yang dialami oleh para TKI. Sebelum Ruyati, kita ketahui kasus sumiyati yang disiram air keras dan diperkosa oleh majikannya sehingga wajahnya hancur; kasus Darsem yang sama seperti Ruyati akan dihukum pancung yang sekarang sudah agak relatif aman karena pihak pemerintah sudah membayar uang tebusan kepada pihak Arab Saudi ; Eli Khoiriyah tidak mendapat gaji sepeser pun dan kerap disiksa ,disiram dengan air keras selama 4 tahun lebih yang bekerja di Arab Saudi; pasangan suami istri Hasin Taufik dan Sab'atun binti Jaulah, tengah dihukum 4,5 tahun penjara di Arab Saudi dan bahkan terancam dipotong tangannya karena dituduh telah mencuri barang perhiasan majikannya; dan masih banyak rentetan kasus – kasus lainnya yang memiriskan hati kita.
ELIT REAKTIF
Kasus Ruyati ini menjadi salah satu fakta dari sebuah dilema besar atas ketidak perhatian kaum elit kepada warga negaranya. Semangat nasionalisme dari kaum elit telah bias ketika kekuasaan dan tahta telah berbicara. Permasalahan TKI yang sejak zaman periode Ibuk Mega sampai sekarang masih menjadi sebuah dilema. Mulai dari kemampuan pemerintah untuk membuat dan memperbanyak lapangan kerja di negeri sendiri masih rendah , pendistribusian yang tidak professional yang sering terjadinya praktik pengiriman TKI illegal sampai kapasitas yang pas-pasan sering menjadi permasalahan selama ini, sehingga para pahlawan devisa tidak memiliki pilihan karena beban kehidupan yang semakin sulit menjadikan pekerjaan migrant ini menjadi solusi terakhir  sehingga tidak lebih para TKI hanya dijadikan sebagai seorang buruh dan/atau lebih kerennya dikenal dengan istilah Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT).
Pemberhentian pengiriman sementara ( moratorium ) menjadi salah satu reaksi dari para elit bangsa, khususnya DPR mendesak kepada pemerintahan agar moratorium tersebut dipercepat pelaksanaannya. Namun yang sangat disayangkan , kasus Ruyati ini seakan-akan menjadi bola panas yang saling di lempar tanpa adanya sosok manusia (penguasa)  yang berani bertanggung jawab atas kematian Ruyati. Reaksi pemanggilan dan rencana pemecatan Dubes RI di Arab Saudi dirasa terlalu berlebih-lebihan dibandingkan dengan  melihat 303 WNI terancam hukuman mati mulai dari tahun 1999-2011 yang tersebar dibeberapa Negara penerima TKI, seperti diantaranya Arab Saudi dengan sekitar 22 orang dan Malaysia sekitar 180 orang. Seharusnya pemerintah memikirkan hal-hal yang bersifat preventif ,jangan sampai terjadi lagi kasus Ruyati untuk berikutnya.
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) dan Kementerian Luar Negeri digadang-gadangkan menjadi pihak yang patut disalahkan dan harus dimintai pertanggung jawabannya atas kematian Ruyati . Karena semenjak tahun 2010 pihak keluarga Ruyati telah memberitahukan perkaranya kepada BNP2TKI dan hasilnya nonsen. Tidak adanya upaya penerusan atas laporan , sehingga dengan keteledoran pihak pemerintah ini nyawa Ruyati tidak bisa diselamatkan .
Banyak hal yang lebih urgent yang dapat dilakukan oleh pemerintah, seperti penyediaan lapangan kerja yang cukup, pengaturan kerja sama yang lebih komperehensif antara Indonesia dengan Negara penerima, UU yang lebih mengacu kepada perlindungan dan kesejahteraan TKI, pengiriman bantuan hukum kepada setiap TKI yang sedang bermasalah, penyeleksian kepada agent-agent legal yang mengurus keberangkatan TKI secara professional, dan masih banyak tindakan-tindakan lainnya yang lebih nyata keberpihakannya .
Pemberhentian pengiriman TKI ke luar negeri memang tindakan nyata namun kita mesti tetap mengkaji aspek persiapan dan solusi atas moratorium ini. Pemerintah harus cepat tanggap dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan HAM ini. Hak dasar warga Negara khususnya terhadap TKI harus diperhatikan, sebelum pengiriman dilakukan pemerintah harus mengadakan perjanjian Memorandum of Understanding (MoU) dengan Negara penerima, untuk menjamin kesejahteraan bagi TKI, jika tidak solusi yang lebih responsif harus dilakukan oleh pihak pemerintah dengan memperbesar lapangan kerja dalam negeri. Karena UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja,  secara subtansi masih lemah akan perlindungan dan kesejahteraan terhadap TKI/TKW di luar negeri, revisi UU tersebut diharapkan menjadi sebuah produk hukum yang non-politis dan memang mengkehendaki keamanan dan kesejahteraan bagi setiap TKI.

Minggu, 26 Juni 2011

artikel " das sollen vs das sein"


oleh : ADE SATRIA MUSLIM
  KETUA KAM PEMBAHARUAN DAN ANGGOTA LAM&PK
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS

Masih dipermukaan  kasus  seorang “Besan”  Dr.Soesilo Bambang Yudhoyono , yang diberikan pembebasan bersyarat oleh Kemenkumham dengan pertimbangan kemanusiaan. Aulia Pohan yang ditahan karena kasus korupsi Deputi Gubernur Bank Indonesia, mendadak sakit layaknya orang strok dan dirawat di rumah sakit . Seketika itu timbulah suatu kebijakan manusiawi dari sang penguasa untuk memberikan suatu pembebasan bersyarat, padahal dilihat dalam pasal 15 KUHP tidak diperbolehkan terdakwa mendapatkan suatu pembebasan bersyarat setelah dia menjalani 2/3 dari jumlah masa tahanan atau sekurang-kurangnya 9 bulan. Sedangkan besan Presiden tersebut belum memenuhi prasyarat yang ada dalam KUHP, karena beliau belum menjalani sepenuhnya 2/3 dari masa tahanannya. Yang seharusnya terjadi (das sollen)   kontradiktif  dengan apa yang terjadi ( das sein ).
Pengilustrasian kasus di atas merupakan bentuk  apa yang dicita-citakan dalam dunia utopia sehingga menjadi sebuah keinginan dan harapan setiap manusia (das sollen), dengan berprinsipkan kepada legalitas regulation yang  bersifat daya mengikat ( presumption of innocence) menjadi topangan padu bagi setiap pelaksanaan tatanan kehidupan , tidak relevan dengan apa yang sudah terjadi bahkan justru kontradiktif dengan apa yang direncanakan. Sebuah produk hukum mencita-citakan keutuhan dan kesejahteraan rakyat, apabila terdapat kecacatan dalam subtantif menjadi kewenangan MK untuk mentelitinya. Namun pada produk hukum yang dianggap sudah layak menjadi sebuah regulasi, tidak adanya keharmonisan antara isi dan prakteknya di lapangan. Sebenarnya aparatur Negara yang kurang responsif untuk melakukan upaya “Pro Justicia” ataukah kesadaran dan keinginan masyarakat untuk menjadikan system hukum yang lebih efektif dan ada hubungan sinergi dengan cita luhur Negara hukum.
PERSELINGKUHAN HUKUM
Argument dan penafsiran sering dikedepankan demi mencapai kepentingan. Dengan penafsiran propaganda yang menjadikan masyarakat terpengaruh dengan mudah bahkan hanya sekedar penafsiran gramatikal yang tidak merubah subtansi dari sebuah pengaturan, menjadi daya tawar yang besar , sehingga aparat penegak hukum tidak berkutik dan sering terbuai atas pernyataan orang-orang yang berlindung di bawah kekejaman dan perselingkuhan hukum tersebut. Terkadang sebuah pengaturan yang sudah melewati proses legislasi tidak bertaring ketika sebuah penafsiran dan pengelakan atas argument orang-orang yang mempunyai posisi pengaruh di negeri ini sudah berbicara . Ditambah dengan sebuah golongan orang-orang politik yang berusaha untuk memanipulasi suatu keadaan demi menghilangkan sebuah pamor buruk dan selalu melakukan suatu politik pencintraan.
Moh.Nazzarudin, seorang politikus bangsa yang berkecimbung disebuah parpol besar di negeri ini, menjadi orang yang sedang hangat diperbincangkan karena diduga terlibat kepada praktik-praktik bias koruptif. Dengan dalih berobat ke Singapura menjadi alasan mengundur-undur bahkan menolak untuk diperiksa oleh penegak hukum. Karena merupakan kader dari sebuah parpol yang besar, seakan-akan partai mejadi pembackup si Nazarudin tersebut, yang katanya akan menindak tegas kader-kader yang mungkir dan melanggar kode etik kepartaian, namun pada nyatanya partai seakan-akan bertindak sebagai pembela menutupi kesalahan kadernya. Kekuasaan selalu dimanipulasi oleh  sebuah kepentingan, yang ujung-ujungnya rakyat yang menjadi korban pembodohan.
Masih banyak hal-hal yang berbau kontradiktif terjadi belakangan  di negeri ini. Misalnya dalam hal aparat penegakan hukum dalam memutuskan sebuah perkara. Di meja hijau sering hal ini terjadi , hakim yang menjadi  panglima dalam pengadilan kerap melakukan disparitas keadilan. Terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana mendapatkan vonis yang tidak seimbang dengan perbuatannya, bahkan tidak jarang kita temui terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas oleh hakim-hakim nakal. Disparitas yang sangat ironis ketika seorang terdakwa yang ketahuan mencuri sebiji buah kakao dihukum layaknya telah melakukan pencurian kelas kakap, sedangkan  pencuri kelas kakap yang sebenarnya yang membuat kesengsaraan dan kegeraman rakyat, divonis hukuman dengan banyaknya petimbangan. Hakim “S” yang saat ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh publik , diduga telah melakukan putusan-putusan yang tidak seimbang dengan dakwaan dari JPU dan bahkan diberikan vonis bebas. Karena selama proses pemeriksaan , hakim tersebut diduga menerima uang panas dari terdakwa-terdakwa yang secara umum terlibat pada kasus korupsi yang dilakukan atas nama  sebuah kekuasaan dan kepentingan. Hakim lebih cenderung mempertimbangkan uang haram , dibandingkan mempertimbangkan aspek-aspek yang terjadi dalam persidangan , sehingga tidak terkejut kita melihat sebuah perkara yang sedang berlangsung dan hakimnya ketiduran saat menjalani proses pemeriksaan tersebut.
KAPASITAS TAK BERTARING
Menjadikan sebuah cita-cita tercapai harus diikuti oleh dua hal yang sangat krusial, usaha dan kapasitas. Ketika usaha dirasakan sudah maksimal, maka hal penentu tercapainya suatu keinginan adalah capacity.  Seberapa besar kapasitas yang dimiliki dan pengaruhnya terhadap suatu profesi yang dijalani terutama di bidang penegakan hukum, dan menggali potensi-potensi yang ada guna terciptanya stabilitas aparat penegak hukum. Yang menjadi masalah kapasitas yang diharapkan itu sangat minim keberadaanya. Mayoritas telah mencorek dinamika prosedur penegakan hukum, karena masih ada sebenarnya kaum-kaum minoritas yang memiliki capacity tersebut, namun ruang pergerakannya sering di batasi oleh kaum mayoritas. Orang-orang yang berkualitas dan professional terkadang menjadi boomerang bagi aparat-aparat yang haus akan sebuah pencapaian terhadap kepentingannya, sehingga selalu ada jalan penghambat untuk orang-orang yang pintar agar terhambat langkah-langkahnya. Walaupun sudah adanya lembaga-lembaga Negara  atau LSM yang berkecimbung kepada pengabdian masyarakat dan hukum, namun ketika politik kekuasaan yang besar dan kepentingan berbicara , maka apapun upaya yang dilakukan akan sulit untuk tercapai.
Di sini terlihat, betapa carut marutnya aparat penegak hukum dalam tugas dan wewenangnya . kemampuan yang dimiliki tidak relevan dengan amanat yang dipercayakan oleh rakyat serta tugas yang telah diatur dalam sebuah regulasi. Recruitment yang asal-asalan yang penuh dengan kolusi , korupsi dan nepotisme menjadi faktor  penyebab kemampuan yang sangat standar yang dimiliki oleh aparat penegak hukum. Orang-orang yang terlibat dengan sebuah kekuasaan , semakin tinggi kedudukan kekuasaan seseorang maka semakin rendah kewajiban dari suatu instansi atau person, sehingga potensi korupsi akan cenderung sering terjadi.
Jadi, dengan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum yang masih lemah, mental aparatur yang masih dipermukaan dan  kesadaran semua golongan merupakan hal yang penentu akan kemajuan sebuah bangsa; demi tercapainya cita-cita luhur bangsa yang tertuang dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Selasa, 17 Mei 2011

opini " budaya terorisme sistematis"


Oleh : ADE SATRIA MUSLIM
Ketua KAM Pembaharuan dan anggota  LAM&PK
Fakultas Hukum Universitas Andalas

Dua orang yang diduga teroris ditembak mati oleh  polisi Detasemen Khusus sabtu dini hari  14/05 di Sukoharjo, Jawa Tengah. Mereka disinyalir akan melakukan serangan ke Markas Besar Polri di Jakarta.
Berita di atas merupakan versi terbaru edisi stabilitas dan keamanan negeri ini dari ancaman teroris. Aksi terorisme ini merupakan penyerangan terkoordinasi yang tunduk pada tata cara perperangan yang tidak tergabung ke dalam angkatan bersenjata yang bertujuan menciptakan perasaan teror terhadap masyarakat. Serangan yang dilakukan tidak tebang pilih dan sering masyarakat sipil yang terkena dampaknya; yang tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi. Para terorisme sering menyebut diri mereka dengan gerakan separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, kaum militant, mujahidin, dll.
Modus operasi teroris ini bermacam-macam, dengan melakukan pengeboman, baik bom bunuh diri maupun membunuh orang lain dengan bom ; aksi bom mobil dengan target tempat tertentu yang mereka anggap penuh penistaan ; dan sekarang modus terbaru dengan melakukan bom buku yang dikemas sedemikian rupa sehingga menimbulkan kecurigaan bagi masyarakat ; serta dalam hal pembajakan ,penghadangan, penculikan, penyanderaan, perampokan dsb, juga merupakan indikator aksi teroris untuk menteror masyarakat.
Analisa Penyebab
Secara normative, UU No 15 Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dikaji subtansinya telah mengatur secara detail kegiatan maupun indikasi terorisme yang harus diberantas polisi. Namun Badan Nasional Pemberantasan Teroris mengungkapkan aturan teroris di Indonesia terlembek di dunia. Tidak adanya pencegahan dini terorisme dengan melakukan pendataan identitas (profiling), dan menangkap orang-orang tertentu yang dicurigai memiliki potensi untuk melakukan aksi terror kepada masyarakat.
Selain kemiskinan,  psikologi dan ideologi atau mindset juga merupakan penyebab utama aksi teror ini berkembang. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panic, tidak menentu serta menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk menaati kehendak  pelaku teror (Wikipedia, 2009). Perekrutan juga sering dilakukan dengan mengubah paradigma mainset seseorang yang sekarang lebih dikenal dengan cuci otak. Ideology terorisme adalah kekerasan, ketika seseorang yang telah dicuci otaknya, akan berpikiran tindakan apa, dimana dan siapa target kekerasan itu ditujukan. Dengan pandangan bahwa kekerasanlah tujuan akhir dari perjuangan akan senantiasa hidup di dalam pikiran teroris sehingga akan menciptakan suasana yang tidak kondusif dan masyarakat akan selalu dihantui dengan perasaan takut dan was-was atas tindakan radikalisme dari teroris- teroris  tersebut.
Kompleks
Teroris, identik dengan Islam sebagai media sarana perkumpulan mereka. Sehingga secara tidak langsung mendiskreditkan Islam sebagai agama “kekerasan”. Ditinjau dari perspektif tiap agama, tidak ada satu agamapun yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk bersikap anarkis, bahkan sampai menghilangkan nyawa orang lain yang tidak berdosa. Sebenarnya para teroris ini memiliki pemahaman yang salah terhadap ajaran suatu agama. Kebetulan saat sekarang yang banyak ditangkap gembong teroris yang beragama Islam , maka posisi Islam tersudutkan. Dan sangat tidak rasional kita langsung men judge Islam itu agama yang identik dengan kekerasan.
Setelah meninggalnya Osama Bin Laden, Antek-antek Osama masih berkeliaran di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Kenapa di Indonesia lebih dominan aksi ini terjadi dibandingkan dengan Negara-negara tetangga. Kita lihat dua gembong teroris yang dikejar-kejar oleh aparat penegak hukum yang membutuhkan waktu 10 tahun, baru bisa tertangkap dan dibunuh, Nurdin M.Toop dan Dr.Azhari .Kenapa sangat leluasa para teroris tersebut berkeliaran dengan berbagai kemudahan di Indonesia.
Lemahnya payung hukum, rendahnya pendidikan, dan suburnya kemiskinan , yang menyebabkan kemudahan bagi para teroris untuk berkeliaran dan mengumpulkan kader-kadernya di Indonesia.
Dengan pendidikan yang berkualitas rendah dan tingginya angka kemiskinan menjadi ladang yang empuk sebagai sarana untuk pencucian otak dengan memaksakan ideology, keyakinan yang menghasilkan suatu kekerasan dalam penerapan prinsip-prinsip dasar dalam tubuh teroris. Iming-iming dengan suapan uang demi melancarkan kebutuhan hidup, serta dangkalnya pengetahuan dan pemahaman terhadap agama yang dipeluknya, menjadi hal yang mudah berkembangnya budaya terorisme di Negeri ini.
Payung hukum
Era Orde baru memang sudah sirna. Pelaksanaan payung hukum dalam memberantas aksi terorisme dengan menerapkan UU Subversif yang syarat akan tindakan-tindakan represif dari para elit Negara memang masih membekas bagi masyarakat kita. Namun faktanya, setelah UU tersebut dicabut dan diganti dengan UU Anti Terorisme No 15 Tahun 2003, Indonesia menjadi seakan-akan tidak henti-hentinya di teror oleh aksi terorisme ini. Mulai dari  bom malam Natal pada tahun 2000; bom Bali I (2002), bom JW Marriott (2004), dan bom Bali II (2005) sampai ke kantor-kantor penting yang menjadi target sasaran mereka. Dan sekarang modus operasi bom dilakukan dengan dikemas menjadi bentuk buku yang di dalamnya terdapat elemen-elemen dan kawat-kawat yang bisa membahayakan akibat serpihan bom buku tersebut.
Sepertinya UU Anti Terorisme yang  baru layaknya macan yang ompong. Memiliki daya mengancam tapi tidak ditakuti. Kita lihat Negara seberang, Malaysia dan Singapura yang dikenal dengan International Security Act ( ISA) yang menerapakan UU Subversif ini secara amat represif , ISA meliputi  keamanan bidang hukum, keamanan, dan politik . Sehingga membuat efek takut dan jera apabila berbuat macam-macam dan mencurigakan di negeri tersebut. Jangankan berniat  membuat suatu ormas atau LSM , mencurigakan saja tingkah laku kita, langsung berlaku tindakan represif ini. Akibatnya dua Negara tersebut merupakan Negara yang paling kondusif di Asia Tenggara dibandingkan Negara-negara yang tidak instabilitas seperti Indonesia , Filipina, dan Thailand.
Berlandaskan kepada hal di atas, tidak terlalu buruk jika kita berkaca kepada UU yang lama dengan mekanisme yang disesuaikan dengan kondisi era reformasi sekarang. Aparatur penegak hukum yang tegas, disiplin yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan ideology Pancasila. Setidak-tidaknya kita bisa meminimalisir tindakan-tindakan anarkis dari teroris, ataupun kita bisa mentelaah dan memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul, sehingga kita bisa mencegah agar tidak terjadinya aksi-aksi teroris ini kedepannya.

Senin, 02 Mei 2011

opini " kebangkitan yang loyo ( memaknai hari kebangkitan nasional) "


oleh : ADE SATRIA MUSLIM
Ketua Kam Pembaharuan dan anggota  LAM & PK
Fakultas Hukum Universitas Andalas


Makna Kebangkitan  Nasional yang jatuh tiap tanggal 2 Mei selalu dilakukan dengan sebuah ceremonial atas penghargaan terhadap para founding father yang telah berjuang untuk mendapatkan sebuah kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dengan penuh kekuatan, persatuan dan kesatuan yang dimunculkan oleh pemuda-pemuda perumus kemerdekaan dahulu , hanya untuk mengejar satu kata, MERDEKA! Indonesia merupakan Negara yang berdaulat dan merdeka, telah tiga fase perjalanan yang dilakukan bangsa ini pasca merdeka ; orde lama, orde baru, dan reformasi. Perubahan itu dilakukan senantiasa hanya untuk menjadikan Indonesia adalah Negara yang patut diperhitungkan dimata dunia.
103 tahun sudah boedi oetomo lewat organisasinya menyerukan suatu kebangkitan untuk melawan penjajah dan merebut wilayah kekuasaan kita dari tangan company  yang sudah berabad-abad menjajah kita. Semangat kebangkitan nasional 2 mei 1908 ini membuat suatu pergerakan yang drastis sehingga  muncul beberapa organisasi pra kemerdekaan; tahun 1911 berdiri organisasi Serikat Islam, 1912 Muhammadiyah, 1926 Nahdatul Ulama, dan kemudian pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia.
“janganlah kamu bertanya apa yang telah diberikan Negara kepadamu, tapi apa yang dapat kamu  berikan pada negaramu “. Pidato John F. Kennedy ini menjadi tombak semangat perjuangan demi membela dan memberikan sumbangsih kita kepada Negara sampai saat ini. Dengan adanya suatu perjuangan demi Negara , akan lahirlah suatu kebangkitan dalam negeri, kebangkitan nasional.
Mengembalikan Jati Diri Bangsa
Makna dari kebangkitan nasional masih dirasa pelik. Ditambah dengan keadaan bangsa yang semakin lama semakin hancur. Kondisi ekonomi, politik , hukum yang tidak terkontrol yang jauh dari aturan pokok konstitusi mencerminkan keadaan bangsa yang sudah diambang kehancuran. Reformasi yang tujuannya untuk mensejahterakan rakyat, nyatanya malah menyengsarakan rakyat. Makin tingginya angka kemiskinan , hak-hak warga Negara dalam konsittusi terabaikan, banyak masyarakat yang tidak tidak mempunyai tempat tinggal, pengangguran, dan anak-anak terlantar yang seharusnya menjadi tanggung jawab Negara dan berhak untuk mengenyam pendidikan. Sangat kontradiktif dengan tujuan hakiki dari sebuah kebangkitan .
Kita sudah berhasil merubah paradigma dari sebuah Negara kekuasaan menjadi Negara hukum. Memang system Eropah Continental yang kita anut relatif lebih baik dari pada anglo saxon yang cenderung represif dalam menjalankan kekuasaanya. Namun dalam prakteknya, supremacy of the law harus dijunjung tinggi, bukan di politisir dengan mengutamakan suatu kepentingan tertentu. Hukum seakan-akan tidak bertaring jika politik sudah berada di garda terdepan, yang dalam kajian ilmu hukumnya proses hukum itu terbentuk dengan adanya suatu unsur politik, namun ketika politik sudah bergerak hukum itu seakan-akan di bawah kekuasaan politik.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan kaya akan sumber daya alam. Berdasarkan data dari Gross Domestic Product  atau dalam bahasa Indonesia dikenal istilah Produk Domestik Bruto Indonesia merupakan sepuluh Negara terkaya akan SDA dunia. Namun dari segi eksplor maupun eksploit , kita masih belum mampu untuk memaksimalkannya, karena terkendala dengan kualitas SDM yang mayoritas masih rendah. Indonesia masih menjadi Negara peng impor yang mana bahan-bahannya tersebar luas di seluruh pelosok negeri. Di bidang ekonomi dan bisnis, kita masih terjajah secara tidak langsung oleh pihak asing. Segala aspek usaha dikuasai oleh pihak asing, kita hanya bisa menyaksikan dan terkadang menjadi buruh di Negara sendiri. Sangat ironis sekali ketika melihat sesuatu yang berharga ada di depan kita, namun untuk menggapainya harus lewat kuasa orang lain , sehingga kita hanya mendapatkan sisa-sisanya saja. Para elit bangsa lebih mengutamakan kepentingan kapitalis dari pada kepentingan rakyat, sehingga rakyat semakin bodoh yang hanya mampu membuat surat-surat administrasi ketimbang mengelola suatu perusahaan. Sehingga wajar saja pola hidup konsumtif masih tetap dominan di kalangan masyarakat kita.
Pemuda harapan kebangkitan bangsa
Check and balances antara penguasa dan rakyat sangat dibutuhkan, kritikan-kritikan yang membangun akan menghasilkan demokrasi yang sistematis dan berkualitas secara subtantif. Pemuda besar pengaruhnya akan suatu kebangkitan di negeri ini, dengan pola pikiran yang masih matang dan jiwa semangat yang tinggi menjadi topangan hidup masyakat akan suatu penerus bangsa yang bisa merubah kondisi bangsa yang secara general ini masih dianggap buruk. Kebangkitan diawali dengan perubahan dan keinginan untuk melakukan perubahan, ini bisa ditekankan kepada para pemuda-pemuda seperti yang telah diperlihatkan oleh Bung Boedi Oetomo dalam semangat proklamasinya. Sedangkan kita hanya melanjutkan dari perjuangan para funding father terdahulu.
Dengan tetap berpedoman pada suatu filsafat , “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya terdahulu “. Pemahaman itu bisa dilakukan dengan peningkatan moral bangsa dengan menumbuhkan budaya malu dalam setiap aktifitas bagi tiap warga Negara. Malu untuk korupsi, malu untuk tidak berkerja, yang paling utama, malu untuk tidak mengabdi kepada Negara. Apabila karakter bangsa sudah terbentuk dengan baik , maka untuk memulai suatu perubahan akan semakin mudah.
Juga tidak luput peran, kinerja serta partisipasi para kaum elit bangsa yang sedang berada dalam kekuasaannya untuk mengubah bangsa itu sendiri. Dengan kebijakan-kebijakan yang tetap mengacu keberpihakannya kepada rakyat, bukan kepada kepentingan tertentu. Dan moment kebangkitan nasional ini jangan hanya dijadikan sebuah kebiasaan buruk yang tetap berpijak kepada perayaan yang bersifat gelamour namun makna yang sebenarnya terletak pada keinginan para pemimpin dan pemuda-pemuda harapan bangsa untuk merubah dan membangkitkan Indonesia untuk kearah yang lebih baik.