welcome my blog's

Kamis, 27 Oktober 2011

Opini "Paradoksal Akar birokrasi"

oleh : ADE SATRIA MUSLIM
Divisi Advokasi Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian KemasyarakatanFakultas Hukum Universitas Andalas

Pra reformasi sebelum masa transisi 1998,  birokrasi dijadikan alat status quo bagi masyarakat guna mempertahankan dan mementingkan suatu kekuasaan monolitik.
Hubungan birokrasi dengan kepentingan politik kerap di dualismekan, tidak adanya pembatasan yang dilakukan lewat suatu kebijakan . Akibatnya,  birokrasi cenderung menjadi infinitas ( meluas yang tidak terbatas), terjadinya politisasi birokrasi yang menghasilkan pembusukan politik (politic fallacy) dan melemahkan peran serta kinerja dari birokrasi itu sendiri.
Pandangan teoritis ,birokrasi merupakan sebuah alat kekuasaan untuk menjalankan produk-produk politik , mengatur dan mewujudkan agenda-agenda politik. Namun dalam prakteknya , birokrasi telah menjadi kuasa ekstra sebagai alat kekuasaan, cenderung pula menjadi alat kekuatan politik yang melemahkan kekuasaan.
Dalam melaksanakan perannya, birokrat berpatokan pada asas legalitas dan freies ermessen; tetap berlandaskan pada landasan yuridis yang berlaku sehingga berhak untuk melakukan suatu tindakan pejabat Negara dalam suatu keputusan dengan tetap berada dalam koridor regulation.
Problem Birokrasi
Political and Economical Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong, menyatakan kondisi yang sudah klimaks dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Pada tahun 2000 Indonesia berada dalam point 8.0 dalam urutan skor dari 0-10 yang mana 0 berada dalam posisi terbaik dan 10 posisi terburuk.
Hal ini ditenggarai dengan banyaknya pejabat-pejabat publik yang haus akan sebuah kekuasaan dan cenderung memanipulasi data demi memperkaya diri sendiri. Dengan asumsi kepada kebebasan setiap orang untuk dipilih dan memilih , menjadikan posisi birokrasi sering di politisasikan demi untuk menduduki posisi dan pemenangan dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Undang-undang No 32 Tahun 2004 dalam pasal 1 menyatakan tugas dan wewenang yang diberikan kepada aparatur penyelenggara Negara dilakukan dengan system otonomi daerah yang mana diberikan kepada semua daerah untuk mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat sekitarnya. Penyelenggaraan itu dilakukan dari semua lini yang berkaitan dengan kepentingan publik. Pendidikan , transportasi, kebutuhan financial masyarakat, dsb , tidak luput dari sebuah tatanan kepengurusan dalam memaksimalkan penyelenggaran lewat petugas birokrasi.
Asas “good government “ tidak terlepas dari birokrasi yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Dengan reformasi yang terjadi, dapat merubah paradigma-paradigma pembusukan citra perpolitikan di Indonesia, serta buruknya kinerja dan kapasitas birokrat.
Bias Koruptif
Korupsi , kolusi dan nepotisme memiliki posisi tawar yang sangat besar. Banyak hal terjadinya suatu korupsi. Terutama dalam urusan penyelenggaraan pemerintah. Birokrat sering memanfaatkan wewenang menjadi super absolutely, sehingga ketika adanya suatu kebijakan, maka peluang untuk melakukan korupt akan semakin terbuka. Misalnya birokrasi dalam open recruitment sumber daya manusia yang seharusnya dilakukan lewat fit and proper test ,namun sering  terjadi suatu disintegrasi dengan adanya kolusi dan nepotisme .
Reward and punish! Hal ini menjadi suatu stategi pematangan birokrat yang dicanangkan oleh Presiden SBY. Dengan memberikan hadiah kepada pejabat publik  yang berprestasi dalam melaksanakan tugasnya dan memberikan hukuman bagi yang menyalah gunakan kedudukan dan kewenangan.
Namun pola tersebut kurang berjalan semestinya. Karena masih banyak terdapat hubungan kerja yang kolutif , diskriminatif dan tidak professional. Pejabat publik lebih tertuju keberpihakannya kepada kepentingan pribadi dibanding tugas pokok sebagai pelayan masyarakat.
“Sikap anarkisme yang sering terjadi dikalangan mahasiswa belakangan ini ,dapat dilakukan dengan penambahan mata kuliah Etika”, kata Rektor Universitas Mercu Buana(UMB) Arissetyanto Nugroho usai membuka acara di UMB selasa 10/5.
Seharusnya demi menjaga keutuhan dan pembangunan bangsa yang bebas dari budaya laten korupsi, pun dibutuhkan suatu pembelajaran dikalangan mahasiswa dengan penambahan mata kuliah anti korupsi.
Ketertinggalannya Sumbar
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan kemendagri dalam hal Evaluasi Kinerja dan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EKPPD) , Sumbar mendapatkan peringkat kedelapan dalam tatanan birokrasinya. Wapres Boediyono menyatakan pemeringkatan ini dilakukan sebagai bentuk pengakuan kepada daerah yang baik dalam melayani masyarakatnya. Akuntabilitas dan transparansi menjadi tolak ukur indikator penilaian, dan jika ada yang terlibat kasus hukum akan mengurangi penilaian.
Urutan kedelapan bukan urutan yang buruk, namun tidak membanggakan! Masih banyaknya kita lihat ditataran birokrasi Sumbar yang masih menunda-nunda pelaksanaan permohonan masyarakat. Misalnya dalam hal pembuatan  KTP. Dengan persyaratan yang rumit, masyarakat juga sering diperbodohi dengan alasan yang tidak rasional sehingga permohonan sering ditunda-tunda. PP No 38/2007 tentang pembagian urusan pemerintah, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sudah diperjelas. Sehingga , alasan yang digunakan oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam menunda permohonan masyarakat tidak relevan dengan regulasi yang dibuat yang secara subtansi tugas dan wewenang pemeritah daerah  tidak sebanyak dan serumit pemerintah pusat. Jadi, apakah professional pejabat publik kita yang sering menunda-nunda permohonan masyarakat? Ironisnya!

1 komentar: