KETUA KAM PEMBAHARUAN DAN ANGGOTA LAM & PK
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS
Belum
lekang kasus koruptor yang berkeliaran menjejal pelosok negeri. Demi membela
diri , pelaksana peraturan masih belum mampu untuk mengatasi pelaku-pelaku
korupt yang sudah menggoyahkan kestabilan bangsa sehingga masyarakat dijadikan
sebagai penonton para elit-elit bangsa dalam berskenario dan syarat akan
kepentingan dalam menegakkan hukum di negeri ini, sekarang publik dikejutkan
dengan ancaman hukuman penjara terhadap Prita Mulya Sari atas kasasi yang
diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Pemerintah
masih belum mampu menghapus stigma masyarakat terhadap keadilan yang hanya
untuk kalangan-kalangan orang yang berduit. Sehingga masyarakat kelas bawah
sering menjadi korban keadilan yang bersifat kaku dan masih berlandaskan kepada
aturan yang baku. Dengan asumsi
mempertimbangkan asas pembukian negative yang diterapkan di Indonesia ,
sehingga hakim dalam memutuskan perkara tunduk kepada aturan baku meskpiun juga
berdasarakan keyakinan hakim.
Namun, para
pencari keadilan lagi-lagi dikejutkan dengan dilema keputusan aparatur yudisial
dalam menegakkan “aequo et bono” . Kasus Prita , seseorang yang dituduh telah
melakukan perbuatan pencemaran nama baik, yang pada awalnya merupakan suatu
tindak kekesalan terhadap pelayanan yang kurang maksimal oleh rumah sakit Omni
Internasional kepadanya, sehingga prita membeberkan kedunia maya tindak
kekesalan kepada teman-temannya, dan tidak disangka tersebar sehingga langsung mendapat
reaksi yang tidak berjiwa besar dilakukan oleh rumah sakit tersebut.
KEKEJAMAN KEADILAN
Penegakan
hukum atau Law Enforcement sering
mandul akibat degradasi moral yang terdapat dalam diri aparatur penegak hukum
itu sendiri. Keadilan seakan-akan menjadi barang yang dapat di komersil
kan sehingga kalangan elit yang beruang
, menjadikan lahan yang subur untuk menggelapkan sisi keadilan demi mencapai
keuntungan.
Putusan
pengadilan Negeri Tanggerang yang membebaskan Prita dari kurungan penjara dan
putusan MA terdahulu untuk tidak membayar ganti rugi, ternyata belum memiliki
kekuatan hukum (in kracht van gewisjde) . Pasalnya, publik dikejutkan dengan
putusan Mahkamah Agung baru-baru ini yang memenangkan kasasi penuntut umum dalam
kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang. Sehingga
kembali prita diseret ke meja hijau dan dijadikan sebagai terdakwa. Kejaksaan
Agung menuntut ke Mahkamah Agung agar putusan pengadilan negeri Tangerang
dibatalkan yang membebaskan Prita dari tuntutan pidana dan perdata. Alhasil,
Mahkamah Agung menerima kasasi Kejakgung , namun yang diterima hanya permohonan
dalam pembebasan Prita dari tuntutan pidana , sedangkan tuntutan perdatanya
tidak dikabulkan.
Terlepas
dari kualifikasi jenis kasasi yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung , hal ini
menjadi sangat reaktif bagi masyarakat, sehingga banyak yang secara spontan
mengkritisi tindakan MA ini merupakan penzaliman terhadap hak orang yang sedang
mencari keadilan. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang tertuang dalam
konstitusi merupakan kewajiban Negara (legal
Obligation) , sehingga setiap tindakan Negara harus memperhatikan aspek
perlindungan terhadap setiap warga.
Dalam
sebuah keputusan, pendekatan secara normatif memang dituntun, namun tidak
menutup kemungkinan Hakim harus mempertimbangkan aspek keadilan dan dampak dari
sebuah putusan tersebut. Masih teringat “Koin Untuk Prita” sebagai bentuk wujud
keprihatinan masyarakat di seluruh Indonesia terhadap minimnya keadilan
terutama terhadap rakyat miskin. Namun hal tersebut tidak menjadi bomerang bagi
aparat penegak hukum yang lebih memperhatikan aspek normatif dibanding
keadilan. Hal ini jelas-jelas merupakan pelecehan terhadap konstitusi bahkan
terhadap filsafat dasar Negara Pancasila yang tertuang dalam pasal ke-5.
Seperti
yang penulis kutip dari website Mahkamah Agung , Ketua MA dalam pidato
peresmian 14 Gedung Pengadilan yang dipusatkan di Pengadilan Tinggi Denpasar
pada Kamis, 30 Juni 2011 sehingga menjadi sebuah opini
publik yang menyatakan keadilan adalah roh hukum dan mutlak tidak dapat
terpisahkan . pernyataan yang sangat kontradiktif bila kita sinergikan dengan
realita yang ada sekarang, karena kasus Prita ini mendatangkan reaksi yang
sangat keras terhadap badan peradilan yang agung tersebut. Kode etik aparat
penegak hukum pada setiap tindakan pidana harus diperhatikan dan sesuai dengan
patokan-patokan moral dan etika yang tinggi sehingga tidak menimbulkan
praktik-praktik kesewenangan terhadap terdakwa.
IMPLEMENTASI UU ITE
Kasus Prita
ini diseret ke meja hijau dengan dijerat pasal 27 ayat 3 UU nomor 11 tahun 2008
tentan Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),yang berbunyi "Setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"
menjadi sebuah paradigma baru yang melibatkan berbagai pihak. Hakim MK, Mahfud
MD menyatakan secara subtansi UU ITE ini sudah benar mengingat banyaknya cara-cara
yang dilakukan berbagai pihak untuk
melakukan pencemaran nama baik lewat dunia maya ,baik secara institusi maupun
perorangan. Dan penyebaran dalam dunia maya ini sulit untuk dihapus.
Namun yang
menjadi problema dari dampak UU ini, penempatan dan pembuktian yang tidak
objektif yang dilakukan aparat penegak hukum. Seharusnya dalam menerapkan pasal
yang akan dijerat kepada tersangka, kejaksaan harus jeli dan bijak mengkaji
tindak pidana yang terjadi. Dikaitkan dengan kasus Prita, sebaiknya tim
penyidik lebih optimal dalam menindak apakah memang terbukti sebagai pencemaran
nama baik atau tidak. Hal ini bisa dilakukan dengan menelusuri dan menginvestigasi
apakah keluhan Prita lewat dunia maya ini benar atau palsu sehingga didapati
hasil yang lebih objektif. Kalaupun Prita ternyata terbukti bersalah karena
tuduhan-tuduhannya itu tidak cukup bukti dan menjadi unsur pemfitnahan atau
pencemaran, baru bisa dijera dengan UU ITE ini.
Namun kasus
Prita ini langsung dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran nama baik
lewat informasi elektronik, seakan-akan rumusan pasal UU ITE ini menjadi multi
tafsir dan lentur. Sehingga berdampak akan sebuah ketakutan pengekangan
terhadap kebebasan berekspresi bagi setiap orang dalam menyampaikan pendapat / keluhan
dan pembungkaman terhadap kebebasan masyarakat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar