Oleh : ADE SATRIA MUSLIM
Ketua KAM Pembaharuan dan anggota LAM&PK
Fakultas Hukum Universitas Andalas
Dua orang yang diduga teroris ditembak mati
oleh polisi Detasemen Khusus sabtu dini
hari 14/05 di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Mereka disinyalir akan melakukan serangan ke Markas Besar Polri di Jakarta.
Berita di atas merupakan versi terbaru edisi
stabilitas dan keamanan negeri ini dari ancaman teroris. Aksi terorisme ini
merupakan penyerangan terkoordinasi yang tunduk pada tata cara perperangan yang
tidak tergabung ke dalam angkatan bersenjata yang bertujuan menciptakan
perasaan teror terhadap masyarakat. Serangan yang dilakukan tidak tebang pilih
dan sering masyarakat sipil yang terkena dampaknya; yang tidak
berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi. Para terorisme sering
menyebut diri mereka dengan gerakan separatis, pejuang pembebasan, pasukan
perang salib, kaum militant, mujahidin, dll.
Modus operasi teroris ini bermacam-macam, dengan melakukan
pengeboman, baik bom bunuh diri maupun membunuh orang lain dengan bom ; aksi
bom mobil dengan target tempat tertentu yang mereka anggap penuh penistaan ;
dan sekarang modus terbaru dengan melakukan bom buku yang dikemas sedemikian
rupa sehingga menimbulkan kecurigaan bagi masyarakat ; serta dalam hal
pembajakan ,penghadangan, penculikan, penyanderaan, perampokan dsb, juga
merupakan indikator aksi teroris untuk menteror masyarakat.
Analisa Penyebab
Secara normative, UU No 15 Tahun 2003 tentang penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan
tindak pidana terorisme dikaji subtansinya telah mengatur secara detail
kegiatan maupun indikasi terorisme yang harus diberantas polisi. Namun Badan
Nasional Pemberantasan Teroris mengungkapkan aturan teroris di Indonesia
terlembek di dunia. Tidak adanya pencegahan dini terorisme dengan melakukan pendataan
identitas (profiling), dan menangkap
orang-orang tertentu yang dicurigai memiliki potensi untuk melakukan aksi
terror kepada masyarakat.
Selain kemiskinan, psikologi dan ideologi atau mindset juga
merupakan penyebab utama aksi teror ini berkembang. Terorisme digunakan sebagai
senjata psikologis untuk menciptakan suasana panic, tidak menentu serta
menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan
memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror (Wikipedia, 2009). Perekrutan
juga sering dilakukan dengan mengubah paradigma mainset seseorang yang sekarang
lebih dikenal dengan cuci otak. Ideology terorisme adalah kekerasan, ketika
seseorang yang telah dicuci otaknya, akan berpikiran tindakan apa, dimana dan
siapa target kekerasan itu ditujukan. Dengan pandangan bahwa kekerasanlah
tujuan akhir dari perjuangan akan senantiasa hidup di dalam pikiran teroris
sehingga akan menciptakan suasana yang tidak kondusif dan masyarakat akan
selalu dihantui dengan perasaan takut dan was-was atas tindakan radikalisme
dari teroris- teroris tersebut.
Kompleks
Teroris, identik dengan Islam sebagai media sarana
perkumpulan mereka. Sehingga secara tidak langsung mendiskreditkan Islam
sebagai agama “kekerasan”. Ditinjau dari perspektif tiap agama, tidak ada satu
agamapun yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk bersikap anarkis, bahkan sampai
menghilangkan nyawa orang lain yang tidak berdosa. Sebenarnya para teroris ini
memiliki pemahaman yang salah terhadap ajaran suatu agama. Kebetulan saat
sekarang yang banyak ditangkap gembong teroris yang beragama Islam , maka
posisi Islam tersudutkan. Dan sangat tidak rasional kita langsung men judge Islam itu agama yang identik
dengan kekerasan.
Setelah meninggalnya Osama Bin Laden, Antek-antek
Osama masih berkeliaran di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Kenapa di
Indonesia lebih dominan aksi ini terjadi dibandingkan dengan Negara-negara
tetangga. Kita lihat dua gembong teroris yang dikejar-kejar oleh aparat penegak
hukum yang membutuhkan waktu 10 tahun, baru bisa tertangkap dan dibunuh, Nurdin
M.Toop dan Dr.Azhari .Kenapa sangat leluasa para teroris tersebut berkeliaran
dengan berbagai kemudahan di Indonesia.
Lemahnya payung hukum, rendahnya pendidikan, dan
suburnya kemiskinan , yang menyebabkan kemudahan bagi para teroris untuk
berkeliaran dan mengumpulkan kader-kadernya di Indonesia.
Dengan pendidikan yang berkualitas rendah dan
tingginya angka kemiskinan menjadi ladang yang empuk sebagai sarana untuk
pencucian otak dengan memaksakan ideology, keyakinan yang menghasilkan suatu
kekerasan dalam penerapan prinsip-prinsip dasar dalam tubuh teroris.
Iming-iming dengan suapan uang demi melancarkan kebutuhan hidup, serta
dangkalnya pengetahuan dan pemahaman terhadap agama yang dipeluknya, menjadi
hal yang mudah berkembangnya budaya terorisme di Negeri ini.
Payung hukum
Era Orde baru memang sudah sirna. Pelaksanaan payung
hukum dalam memberantas aksi terorisme dengan menerapkan UU Subversif yang
syarat akan tindakan-tindakan represif dari para elit Negara memang masih
membekas bagi masyarakat kita. Namun faktanya, setelah UU tersebut dicabut dan
diganti dengan UU Anti Terorisme No 15 Tahun 2003, Indonesia menjadi
seakan-akan tidak henti-hentinya di teror oleh aksi terorisme ini. Mulai dari bom malam Natal pada tahun 2000; bom Bali I (2002),
bom JW Marriott (2004), dan bom Bali II (2005) sampai ke kantor-kantor penting
yang menjadi target sasaran mereka. Dan sekarang modus operasi bom dilakukan
dengan dikemas menjadi bentuk buku yang di dalamnya terdapat elemen-elemen dan
kawat-kawat yang bisa membahayakan akibat serpihan bom buku tersebut.
Sepertinya UU Anti Terorisme yang baru layaknya macan yang ompong. Memiliki
daya mengancam tapi tidak ditakuti. Kita lihat Negara seberang, Malaysia dan
Singapura yang dikenal dengan International Security Act ( ISA) yang menerapakan
UU Subversif ini secara amat represif , ISA meliputi keamanan bidang hukum, keamanan, dan politik .
Sehingga membuat efek takut dan jera apabila berbuat macam-macam dan
mencurigakan di negeri tersebut. Jangankan berniat membuat suatu ormas atau LSM , mencurigakan
saja tingkah laku kita, langsung berlaku tindakan represif ini. Akibatnya dua
Negara tersebut merupakan Negara yang paling kondusif di Asia Tenggara
dibandingkan Negara-negara yang tidak instabilitas seperti Indonesia ,
Filipina, dan Thailand.
Berlandaskan kepada hal di atas, tidak terlalu buruk
jika kita berkaca kepada UU yang lama dengan mekanisme yang disesuaikan dengan
kondisi era reformasi sekarang. Aparatur penegak hukum yang tegas, disiplin
yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan ideology Pancasila.
Setidak-tidaknya kita bisa meminimalisir tindakan-tindakan anarkis dari
teroris, ataupun kita bisa mentelaah dan memprediksi kemungkinan-kemungkinan
yang akan timbul, sehingga kita bisa mencegah agar tidak terjadinya aksi-aksi
teroris ini kedepannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar