welcome my blog's

Selasa, 17 Mei 2011

opini " budaya terorisme sistematis"


Oleh : ADE SATRIA MUSLIM
Ketua KAM Pembaharuan dan anggota  LAM&PK
Fakultas Hukum Universitas Andalas

Dua orang yang diduga teroris ditembak mati oleh  polisi Detasemen Khusus sabtu dini hari  14/05 di Sukoharjo, Jawa Tengah. Mereka disinyalir akan melakukan serangan ke Markas Besar Polri di Jakarta.
Berita di atas merupakan versi terbaru edisi stabilitas dan keamanan negeri ini dari ancaman teroris. Aksi terorisme ini merupakan penyerangan terkoordinasi yang tunduk pada tata cara perperangan yang tidak tergabung ke dalam angkatan bersenjata yang bertujuan menciptakan perasaan teror terhadap masyarakat. Serangan yang dilakukan tidak tebang pilih dan sering masyarakat sipil yang terkena dampaknya; yang tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi. Para terorisme sering menyebut diri mereka dengan gerakan separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, kaum militant, mujahidin, dll.
Modus operasi teroris ini bermacam-macam, dengan melakukan pengeboman, baik bom bunuh diri maupun membunuh orang lain dengan bom ; aksi bom mobil dengan target tempat tertentu yang mereka anggap penuh penistaan ; dan sekarang modus terbaru dengan melakukan bom buku yang dikemas sedemikian rupa sehingga menimbulkan kecurigaan bagi masyarakat ; serta dalam hal pembajakan ,penghadangan, penculikan, penyanderaan, perampokan dsb, juga merupakan indikator aksi teroris untuk menteror masyarakat.
Analisa Penyebab
Secara normative, UU No 15 Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dikaji subtansinya telah mengatur secara detail kegiatan maupun indikasi terorisme yang harus diberantas polisi. Namun Badan Nasional Pemberantasan Teroris mengungkapkan aturan teroris di Indonesia terlembek di dunia. Tidak adanya pencegahan dini terorisme dengan melakukan pendataan identitas (profiling), dan menangkap orang-orang tertentu yang dicurigai memiliki potensi untuk melakukan aksi terror kepada masyarakat.
Selain kemiskinan,  psikologi dan ideologi atau mindset juga merupakan penyebab utama aksi teror ini berkembang. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panic, tidak menentu serta menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk menaati kehendak  pelaku teror (Wikipedia, 2009). Perekrutan juga sering dilakukan dengan mengubah paradigma mainset seseorang yang sekarang lebih dikenal dengan cuci otak. Ideology terorisme adalah kekerasan, ketika seseorang yang telah dicuci otaknya, akan berpikiran tindakan apa, dimana dan siapa target kekerasan itu ditujukan. Dengan pandangan bahwa kekerasanlah tujuan akhir dari perjuangan akan senantiasa hidup di dalam pikiran teroris sehingga akan menciptakan suasana yang tidak kondusif dan masyarakat akan selalu dihantui dengan perasaan takut dan was-was atas tindakan radikalisme dari teroris- teroris  tersebut.
Kompleks
Teroris, identik dengan Islam sebagai media sarana perkumpulan mereka. Sehingga secara tidak langsung mendiskreditkan Islam sebagai agama “kekerasan”. Ditinjau dari perspektif tiap agama, tidak ada satu agamapun yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk bersikap anarkis, bahkan sampai menghilangkan nyawa orang lain yang tidak berdosa. Sebenarnya para teroris ini memiliki pemahaman yang salah terhadap ajaran suatu agama. Kebetulan saat sekarang yang banyak ditangkap gembong teroris yang beragama Islam , maka posisi Islam tersudutkan. Dan sangat tidak rasional kita langsung men judge Islam itu agama yang identik dengan kekerasan.
Setelah meninggalnya Osama Bin Laden, Antek-antek Osama masih berkeliaran di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Kenapa di Indonesia lebih dominan aksi ini terjadi dibandingkan dengan Negara-negara tetangga. Kita lihat dua gembong teroris yang dikejar-kejar oleh aparat penegak hukum yang membutuhkan waktu 10 tahun, baru bisa tertangkap dan dibunuh, Nurdin M.Toop dan Dr.Azhari .Kenapa sangat leluasa para teroris tersebut berkeliaran dengan berbagai kemudahan di Indonesia.
Lemahnya payung hukum, rendahnya pendidikan, dan suburnya kemiskinan , yang menyebabkan kemudahan bagi para teroris untuk berkeliaran dan mengumpulkan kader-kadernya di Indonesia.
Dengan pendidikan yang berkualitas rendah dan tingginya angka kemiskinan menjadi ladang yang empuk sebagai sarana untuk pencucian otak dengan memaksakan ideology, keyakinan yang menghasilkan suatu kekerasan dalam penerapan prinsip-prinsip dasar dalam tubuh teroris. Iming-iming dengan suapan uang demi melancarkan kebutuhan hidup, serta dangkalnya pengetahuan dan pemahaman terhadap agama yang dipeluknya, menjadi hal yang mudah berkembangnya budaya terorisme di Negeri ini.
Payung hukum
Era Orde baru memang sudah sirna. Pelaksanaan payung hukum dalam memberantas aksi terorisme dengan menerapkan UU Subversif yang syarat akan tindakan-tindakan represif dari para elit Negara memang masih membekas bagi masyarakat kita. Namun faktanya, setelah UU tersebut dicabut dan diganti dengan UU Anti Terorisme No 15 Tahun 2003, Indonesia menjadi seakan-akan tidak henti-hentinya di teror oleh aksi terorisme ini. Mulai dari  bom malam Natal pada tahun 2000; bom Bali I (2002), bom JW Marriott (2004), dan bom Bali II (2005) sampai ke kantor-kantor penting yang menjadi target sasaran mereka. Dan sekarang modus operasi bom dilakukan dengan dikemas menjadi bentuk buku yang di dalamnya terdapat elemen-elemen dan kawat-kawat yang bisa membahayakan akibat serpihan bom buku tersebut.
Sepertinya UU Anti Terorisme yang  baru layaknya macan yang ompong. Memiliki daya mengancam tapi tidak ditakuti. Kita lihat Negara seberang, Malaysia dan Singapura yang dikenal dengan International Security Act ( ISA) yang menerapakan UU Subversif ini secara amat represif , ISA meliputi  keamanan bidang hukum, keamanan, dan politik . Sehingga membuat efek takut dan jera apabila berbuat macam-macam dan mencurigakan di negeri tersebut. Jangankan berniat  membuat suatu ormas atau LSM , mencurigakan saja tingkah laku kita, langsung berlaku tindakan represif ini. Akibatnya dua Negara tersebut merupakan Negara yang paling kondusif di Asia Tenggara dibandingkan Negara-negara yang tidak instabilitas seperti Indonesia , Filipina, dan Thailand.
Berlandaskan kepada hal di atas, tidak terlalu buruk jika kita berkaca kepada UU yang lama dengan mekanisme yang disesuaikan dengan kondisi era reformasi sekarang. Aparatur penegak hukum yang tegas, disiplin yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan ideology Pancasila. Setidak-tidaknya kita bisa meminimalisir tindakan-tindakan anarkis dari teroris, ataupun kita bisa mentelaah dan memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul, sehingga kita bisa mencegah agar tidak terjadinya aksi-aksi teroris ini kedepannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar