welcome my blog's

Jumat, 23 September 2011

opini "tendensi vonis bebas koruptor"

Oleh: ADE SATRIA MUSLIM

KETUA KAM PEMBAHARUAN DAN ANGGOTA LAM&PKFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS

Hakim adalah tangan kanan Tuhan di dunia. Hanya lewat hantaman palunya , hidup dan  mati seseorang bisa diputuskan dalam sebuah persidangan perkara pidana. Dengan begitu terlihat betapa besarnya kekuasaan hakim melalui pengadilannya. Maka kontrol atas kekuasaan hakim harus dilakukan.
Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya.
Hakim, menjadi  salah satu profesi di bidang hukum merupakan  sebuah jabatan yang mulia sekaligus beresiko. Mulia karena hakim memberikan keadilan bagi masyarakat sehingga independensi hakim menjadi tolak ukur keputusan yang bernilai objektif agar mendatangkan ketentraman dan perdamaian dalam masyarakat luas. Penuh resiko karena sebuah profesi tidak ada yang luput dari resiko terutama terhadap sebuah putusan yang dihasilkan oleh majelis hakim akan berhadapan dengan pihak yang dikalahkan dan opini publik yang buruk apabila putusan tersebut dinilai bertolak belakang dengan keinginan publik. Apalagi ketika hakim terjebak dalam permainan kotor dalam persidangan perkara yang memuaskan nafsu duniawi sesaat si hakim (mafia peradilan). Sehingga manusia yang menyandarkan harapan pada lembaga peradilan mnjadi bulan-bulanan atau alat pemuas nafsu si hakim. Dengan begitu terdapat ketimpangan dan nilai-nilai luhur hakim yang terkandung sudah ternoda dan luntur akibat tindakan irrasional hakim tersebut .
Sistem dan pelaksanaan penegakan hukum yang dapat menjelmakan pelbagai fungsi hukum dengan baik seperti fungsi kontrol sosial, fungsi menyelesaikan perselisihan, fungsi memadukan argument para pihak yang berpekara, fungsi memudahkan, fungsi pembaharuan, fungsi kesejahteraan, dsb. Terhadap fungsi-fungsi fundamental tersebut timbul pelbagai penafsiran yang berakhir kepada timbulnya permasalahan hukum. Terkait kepada sebuah putusan yang kontroversial yang timbul dari meja hijau, menjadi faktor penentu apakah fungsi-fungsi fundamental hukum sudah terlaksana dengan baik atau telah terjadi pengingkaran terhadap pelaku kekuasaan kehakiman yang tidak berfungsi menyelenggarakan peradilan yang baik guna menegakkan hukum dan keadilan seperti yang diamanatkan dalam pasal 24 UUD 1945.
Koruptor yang Kontroversial
Korupsi merupakan sebuah tindak pidana khusus yang diatur dalam undang-undang yang penjelmaan subtansi secara khusus  tidak terdapat dalam KUHP . Kejahatan ini menjadi sebuah kejahatan luar biasa sehingga penyelesaian permasalahan hukumnya harus ditempuh lewat pengadilan yang bersifat permanen (pengadilan tindak pidana korupsi atau  tipikor ). Dalam pengadilan tipikor  , hakim yang menangani perkara bersifat campuran yaitu seorang hakim karir dan dua orang yang dipilih secara ad hoc yang berasal dari akademisi hukum ataupun praktisi. Sehingga seharusnya komposisi hakim yang demikian menunjukkan kualitas, mentalitas, dan integritas serta track record hakim bersangkutan yang mumpuni dan terpercaya karena melewati proses penyeleksian hakim yang ketat.
Namun , menyimak pemberitaan pengadilan tipikor Bandung yang memvonis bebas terdakwa korupsi walikota non-aktif Bekasi kemaren ini semakin menyesakkan dada karena ini sudah keempat kalinya pengadilan itu mencampakkan jerat hukum  sang Jaksa KPK . Dengan alasan menegakkan prinsip equality before the law  dan presumptio of innounce yang berarti menjadikan setiap orang harus dipandang sama di depan hukum dan setiap orang harus dianggap tidak bersalah terlebih dahulu sampai adanya putusan hakim yang bersifat in kracht. Melalui alasan ini hakim membebaskan terdakwa korupsi yang salah satunya telah merugikan negara lebih dari 1.6 Miliar rupiah (Kompas 13/10).
Dalam kasus korupsi yang diadili lewat pengadilan tipikor Bandung tersebut, pihak terdakwa divonis bebas oleh majelis hakim karena pembuktian-pembuktian yang dihadirkan dalam persidangan tidak cukup kuat untuk menarik kesimpulan dan meyakinkan hakim dalam putusan. Hakim memiliki kewenangan yang besar dalam persidangan, selain pembuktian lewat alat-alat bukti yang ada, hakim juga memiliki penafsiran sendiri lewat keyakinannya berdasarkan asas pembuktian negatif atau  negatif wettelijk yang dianut oleh hukum kita. Terdakwa korupsi terlebih dahulu didakwa subsidair oleh jaksa penuntut dari KPK dengan empat dakwaan sekaligus. Bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan oleh penuntut umum sekitar  42 saksi, dan ada 320 alat bukti dokumen yang disita secara sah oleh penyidik KPK yang dijadikan sebagai bahan pembuktian (Kompas 13/10). Namun hakim berasumsi lain , bahwa pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum tidak cukup kuat sehingga terciptalah sebuah vonis bebas.
Majelis hakim yang menangani kasus korupsi ini yang terdiri dari tiga orang, berdasarkan historis pengalaman menangani pada kasus yang sama sebelumnya, dua diantara majelis hakim tersebut juga pernah memvonis bebas terdakwa korupsi. Bahkan salah satu hakim non-karir ini pernah menjadi seorang tersangka kasus korupsi dana overhead di perusahaan PT Bumi Siak Pusako senilai 194.496 dollar AS atau sekitar Rp 1,8 miliar yang akhirnya divonis bebas . Opini publik otomatis secara tidak langsung menakar keobjektifitasan hakim tersebut. Hakim yang merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang bebas, mandiri dan berintegritas tinggi, seakan-akan sekarang sudah lemah dan nyaris dipermainkan oleh kepentingan dan uang. Korupsi menjadi sesuatu yang paling dibenci oleh masyarakat luas karena pembiasan dari tindakan korupsi ini sangat luas dan bahkan bisa memiskinkan negara namun juga sesuatu yang paling diminati oleh para petinggi dan penguasa bangsa ini. Sehingga apabila menyangkut dengan kasus korupsi, maka profesionalitas koruptor akan bisa terlihat, dan radiasinya bisa saja meluas kepada majelis hakim. Sehingga akan terjadinya sebuah perlawanan antara nilai-nilai keobjektifitas hakim vs kepentingan yang digauli oleh politik uang.
Profesi hakim tidak luput dari etika yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini Komisi Yudisial menjadi lembaga pengawas terhadap perilaku hakim “nakal” tersebut . Komisi Yudisial harus segera meneliti dan mengusut tuntas hakim yang terang-terangan berselingkuh tersebut. Nilai-nilai keberpihakan dan keobjektifitasan hakim bisa dilakukan pengawasan apabila adanya terdapat sebuah putusan yang kontradiktif dan bertolak belakang dari apa yang diinginkan oleh masyarakat pada umumnya (das sollen). Meskipun adanya upaya-upaya hukum yang berhak dilakukan oleh pihak yang kalah, dalam hal ini KPK sebagai penuntut umum dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung, jika integritas dan keprofesionalitas hakim yang menangani perkara ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh publisitas pencari keadilan , maka putusan yang akan dihasilkan tidak akan jauh beda dari putusan peradilan sebelumnya. Sehingga adagium yang berkembang dalam masyarakat  bahwa hukum itu tumpul ke atas dan runcing ke bawah menjadi semakin melekat, hukum bengis terhadap pelaku kroco dan ramah terhadap penjahat intelektual sehingga  kepercayaan publik akan aparat penegak hukum akan semakin luntur dan tidak berbunyi.***

Senin, 19 September 2011

Opini " Mahalnya Senila Keadilan"

Oleh : ADE SATRIA MUSLIM
KETUA KAM PEMBAHARUAN DAN ANGGOTA LAM & PK
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS

Belum lekang kasus koruptor yang berkeliaran menjejal pelosok negeri. Demi membela diri , pelaksana peraturan masih belum mampu untuk mengatasi pelaku-pelaku korupt yang sudah menggoyahkan kestabilan bangsa sehingga masyarakat dijadikan sebagai penonton para elit-elit bangsa dalam berskenario dan syarat akan kepentingan dalam menegakkan hukum di negeri ini, sekarang publik dikejutkan dengan ancaman hukuman penjara terhadap Prita Mulya Sari atas kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Pemerintah masih belum mampu menghapus stigma masyarakat terhadap keadilan yang hanya untuk kalangan-kalangan orang yang berduit. Sehingga masyarakat kelas bawah sering menjadi korban keadilan yang bersifat kaku dan masih berlandaskan kepada aturan yang baku. Dengan asumsi  mempertimbangkan asas pembukian negative yang diterapkan di Indonesia , sehingga hakim dalam memutuskan perkara tunduk kepada aturan baku meskpiun juga berdasarakan keyakinan hakim.
Namun, para pencari keadilan lagi-lagi dikejutkan dengan dilema keputusan aparatur yudisial dalam menegakkan “aequo et bono” . Kasus Prita , seseorang yang dituduh telah melakukan perbuatan pencemaran nama baik, yang pada awalnya merupakan suatu tindak kekesalan terhadap pelayanan yang kurang maksimal oleh rumah sakit Omni Internasional kepadanya, sehingga prita membeberkan kedunia maya tindak kekesalan kepada teman-temannya, dan tidak disangka tersebar sehingga langsung mendapat reaksi yang tidak berjiwa besar dilakukan oleh rumah sakit tersebut.
KEKEJAMAN KEADILAN
Penegakan hukum atau Law Enforcement sering mandul akibat degradasi moral yang terdapat dalam diri aparatur penegak hukum itu sendiri. Keadilan seakan-akan menjadi barang yang dapat di komersil kan  sehingga kalangan elit yang beruang , menjadikan lahan yang subur untuk menggelapkan sisi keadilan demi mencapai keuntungan.
Putusan pengadilan Negeri Tanggerang yang membebaskan Prita dari kurungan penjara dan putusan MA terdahulu untuk tidak membayar ganti rugi, ternyata belum memiliki kekuatan hukum (in kracht van gewisjde) . Pasalnya, publik dikejutkan dengan putusan Mahkamah Agung baru-baru ini yang memenangkan kasasi penuntut umum dalam kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang. Sehingga kembali prita diseret ke meja hijau dan dijadikan sebagai terdakwa. Kejaksaan Agung menuntut ke Mahkamah Agung agar putusan pengadilan negeri Tangerang dibatalkan yang membebaskan Prita dari tuntutan pidana dan perdata. Alhasil, Mahkamah Agung menerima kasasi Kejakgung , namun yang diterima hanya permohonan dalam pembebasan Prita dari tuntutan pidana , sedangkan tuntutan perdatanya tidak dikabulkan.
Terlepas dari kualifikasi jenis kasasi yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung , hal ini menjadi sangat reaktif bagi masyarakat, sehingga banyak yang secara spontan mengkritisi tindakan MA ini merupakan penzaliman terhadap hak orang yang sedang mencari keadilan. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang tertuang dalam konstitusi merupakan kewajiban Negara (legal Obligation) , sehingga setiap tindakan Negara harus memperhatikan aspek perlindungan terhadap setiap warga.
Dalam sebuah keputusan, pendekatan secara normatif memang dituntun, namun tidak menutup kemungkinan Hakim harus mempertimbangkan aspek keadilan dan dampak dari sebuah putusan tersebut. Masih teringat “Koin Untuk Prita” sebagai bentuk wujud keprihatinan masyarakat di seluruh Indonesia terhadap minimnya keadilan terutama terhadap rakyat miskin. Namun hal tersebut tidak menjadi bomerang bagi aparat penegak hukum yang lebih memperhatikan aspek normatif dibanding keadilan. Hal ini jelas-jelas merupakan pelecehan terhadap konstitusi bahkan terhadap filsafat dasar Negara Pancasila yang tertuang dalam pasal ke-5.
Seperti yang penulis kutip dari website Mahkamah Agung , Ketua MA dalam pidato peresmian 14 Gedung Pengadilan yang dipusatkan di Pengadilan Tinggi Denpasar pada Kamis, 30 Juni 2011 sehingga menjadi sebuah opini publik yang menyatakan keadilan adalah roh hukum dan mutlak tidak dapat terpisahkan . pernyataan yang sangat kontradiktif bila kita sinergikan dengan realita yang ada sekarang, karena kasus Prita ini mendatangkan reaksi yang sangat keras terhadap badan peradilan yang agung tersebut. Kode etik aparat penegak hukum pada setiap tindakan pidana harus diperhatikan dan sesuai dengan patokan-patokan moral dan etika yang tinggi sehingga tidak menimbulkan praktik-praktik kesewenangan terhadap terdakwa.
IMPLEMENTASI UU ITE
Kasus Prita ini diseret ke meja hijau dengan dijerat pasal 27 ayat 3 UU nomor 11 tahun 2008 tentan Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" menjadi sebuah paradigma baru yang melibatkan berbagai pihak. Hakim MK, Mahfud MD menyatakan secara subtansi UU ITE ini sudah benar mengingat banyaknya cara-cara yang  dilakukan berbagai pihak untuk melakukan pencemaran nama baik lewat dunia maya ,baik secara institusi maupun perorangan. Dan penyebaran dalam dunia maya ini sulit untuk dihapus.
Namun yang menjadi problema dari dampak UU ini, penempatan dan pembuktian yang tidak objektif yang dilakukan aparat penegak hukum. Seharusnya dalam menerapkan pasal yang akan dijerat kepada tersangka, kejaksaan harus jeli dan bijak mengkaji tindak pidana yang terjadi. Dikaitkan dengan kasus Prita, sebaiknya tim penyidik lebih optimal dalam menindak apakah memang terbukti sebagai pencemaran nama baik atau tidak. Hal ini bisa dilakukan dengan menelusuri dan menginvestigasi apakah keluhan Prita lewat dunia maya ini benar atau palsu sehingga didapati hasil yang lebih objektif. Kalaupun Prita ternyata terbukti bersalah karena tuduhan-tuduhannya itu tidak cukup bukti dan menjadi unsur pemfitnahan atau pencemaran, baru bisa dijera dengan UU ITE ini.
Namun kasus Prita ini langsung dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran nama baik lewat informasi elektronik, seakan-akan rumusan pasal UU ITE ini menjadi multi tafsir dan lentur. Sehingga berdampak akan sebuah ketakutan pengekangan terhadap kebebasan berekspresi bagi setiap orang dalam menyampaikan pendapat / keluhan dan pembungkaman terhadap kebebasan masyarakat!