welcome my blog's

Rabu, 20 Juli 2011

opini " dikotomi perlindungan manusia dengan sapi"


Oleh :ADE SATRIA MUSLIM
KETUA KAM PEMBAHARUAN DAN ANGGOTA LAM & PK
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS

Memang sangat ironis sekali, sengaja penulis bandingkan dengan seekor binatang yang mendapatkan perlindungan oleh Negara asalnya ( Australia ) untuk pemberhentian ekspor ke Indonesia dengan dalih pembantaiannya tidak berperi_kebinatangan ,  karena betapa mirisnya hati kita melihat dinamika keadaan bangsa sekarang, jangankan manusia, binatang saja dilindungi oleh Negara kangguru tersebut .
Sedang booming nya kasus seorang TKI dari Arab , Ruyati binti Satubi  yang tiba-tiba kita dikejutkan dengan beritanya yang telah dihukum pancung oleh algojo dari Arab pada hari Sabtu (18/6)  yang disinyalir dia telah melakukan pembunuhan terhadap perempuan Saudi Khairiya binti Hamid Mijlid . Sangat disayangkan tindakan eksekusi dari Negara timur tengah yang tidak adanya koordinasi dengan Kedutaan besar Arab Saudi , namun dalam hukum pidana Islam di negara pusat penyebaran agama Islam tersebut , memang mengatur hukuman pancung bagi setiap terdakwa yang telah di vonis bersalah melakukan pembunuhan, sepertinya fiat justitia roet coelum (walaupun langit akan runtuh, hukum/keadilan haarus tetap ditegakkan ) sangat melekat dalam peraturan legislasi  negara Arab. Jadi secara yurisdiksi kita tidak bisa untuk mengobok-obok aturan dasar Negara tersebut .
Memang Indonesia bukan Negara pertama yang mendapatkan hukuman pancung tanpa pemberitahuan sebelumnya, sudah terlebih dahulu Negara-negara yang juga mengirimkan Migrant (tenaga kerja) nya ke Arab seperti India dan Nigeria. Meskipun Dubes Arab Saudi telah mengeluarkan permohonan maaf kepada Kementrian Luar Negeri dan berjanji agar hal-hal seperti ini tidak akan terjadi lagi kedepannya, namun reaksi keras telah ditunjukan oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. Mulai dari Lembaga Swadaya Masyarakat, mahasiswa, tokoh-tokoh masyarakat sampai ke tukang becak mengecam tindakan yang sangat reaktif dari pemerintahan Arab Saudi tersebut.
Tindakan yang sangat reaktif ini bukan pertama kali terjadi kepada para TKI, kasus Ruyati merupakan rentetan perjalanan kasus kekerasan yang dialami oleh para TKI. Sebelum Ruyati, kita ketahui kasus sumiyati yang disiram air keras dan diperkosa oleh majikannya sehingga wajahnya hancur; kasus Darsem yang sama seperti Ruyati akan dihukum pancung yang sekarang sudah agak relatif aman karena pihak pemerintah sudah membayar uang tebusan kepada pihak Arab Saudi ; Eli Khoiriyah tidak mendapat gaji sepeser pun dan kerap disiksa ,disiram dengan air keras selama 4 tahun lebih yang bekerja di Arab Saudi; pasangan suami istri Hasin Taufik dan Sab'atun binti Jaulah, tengah dihukum 4,5 tahun penjara di Arab Saudi dan bahkan terancam dipotong tangannya karena dituduh telah mencuri barang perhiasan majikannya; dan masih banyak rentetan kasus – kasus lainnya yang memiriskan hati kita.
ELIT REAKTIF
Kasus Ruyati ini menjadi salah satu fakta dari sebuah dilema besar atas ketidak perhatian kaum elit kepada warga negaranya. Semangat nasionalisme dari kaum elit telah bias ketika kekuasaan dan tahta telah berbicara. Permasalahan TKI yang sejak zaman periode Ibuk Mega sampai sekarang masih menjadi sebuah dilema. Mulai dari kemampuan pemerintah untuk membuat dan memperbanyak lapangan kerja di negeri sendiri masih rendah , pendistribusian yang tidak professional yang sering terjadinya praktik pengiriman TKI illegal sampai kapasitas yang pas-pasan sering menjadi permasalahan selama ini, sehingga para pahlawan devisa tidak memiliki pilihan karena beban kehidupan yang semakin sulit menjadikan pekerjaan migrant ini menjadi solusi terakhir  sehingga tidak lebih para TKI hanya dijadikan sebagai seorang buruh dan/atau lebih kerennya dikenal dengan istilah Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT).
Pemberhentian pengiriman sementara ( moratorium ) menjadi salah satu reaksi dari para elit bangsa, khususnya DPR mendesak kepada pemerintahan agar moratorium tersebut dipercepat pelaksanaannya. Namun yang sangat disayangkan , kasus Ruyati ini seakan-akan menjadi bola panas yang saling di lempar tanpa adanya sosok manusia (penguasa)  yang berani bertanggung jawab atas kematian Ruyati. Reaksi pemanggilan dan rencana pemecatan Dubes RI di Arab Saudi dirasa terlalu berlebih-lebihan dibandingkan dengan  melihat 303 WNI terancam hukuman mati mulai dari tahun 1999-2011 yang tersebar dibeberapa Negara penerima TKI, seperti diantaranya Arab Saudi dengan sekitar 22 orang dan Malaysia sekitar 180 orang. Seharusnya pemerintah memikirkan hal-hal yang bersifat preventif ,jangan sampai terjadi lagi kasus Ruyati untuk berikutnya.
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) dan Kementerian Luar Negeri digadang-gadangkan menjadi pihak yang patut disalahkan dan harus dimintai pertanggung jawabannya atas kematian Ruyati . Karena semenjak tahun 2010 pihak keluarga Ruyati telah memberitahukan perkaranya kepada BNP2TKI dan hasilnya nonsen. Tidak adanya upaya penerusan atas laporan , sehingga dengan keteledoran pihak pemerintah ini nyawa Ruyati tidak bisa diselamatkan .
Banyak hal yang lebih urgent yang dapat dilakukan oleh pemerintah, seperti penyediaan lapangan kerja yang cukup, pengaturan kerja sama yang lebih komperehensif antara Indonesia dengan Negara penerima, UU yang lebih mengacu kepada perlindungan dan kesejahteraan TKI, pengiriman bantuan hukum kepada setiap TKI yang sedang bermasalah, penyeleksian kepada agent-agent legal yang mengurus keberangkatan TKI secara professional, dan masih banyak tindakan-tindakan lainnya yang lebih nyata keberpihakannya .
Pemberhentian pengiriman TKI ke luar negeri memang tindakan nyata namun kita mesti tetap mengkaji aspek persiapan dan solusi atas moratorium ini. Pemerintah harus cepat tanggap dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan HAM ini. Hak dasar warga Negara khususnya terhadap TKI harus diperhatikan, sebelum pengiriman dilakukan pemerintah harus mengadakan perjanjian Memorandum of Understanding (MoU) dengan Negara penerima, untuk menjamin kesejahteraan bagi TKI, jika tidak solusi yang lebih responsif harus dilakukan oleh pihak pemerintah dengan memperbesar lapangan kerja dalam negeri. Karena UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja,  secara subtansi masih lemah akan perlindungan dan kesejahteraan terhadap TKI/TKW di luar negeri, revisi UU tersebut diharapkan menjadi sebuah produk hukum yang non-politis dan memang mengkehendaki keamanan dan kesejahteraan bagi setiap TKI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar