Oleh :ADE SATRIA MUSLIM
KETUA KAM PEMBAHARUAN DAN ANGGOTA LAM & PK
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS
Memang sangat ironis sekali, sengaja penulis
bandingkan dengan seekor binatang yang mendapatkan perlindungan oleh Negara
asalnya ( Australia ) untuk pemberhentian ekspor ke Indonesia dengan dalih
pembantaiannya tidak berperi_kebinatangan
, karena betapa mirisnya hati kita
melihat dinamika keadaan bangsa sekarang, jangankan manusia, binatang saja
dilindungi oleh Negara kangguru tersebut .
Sedang booming nya kasus seorang TKI dari Arab , Ruyati
binti Satubi yang tiba-tiba kita dikejutkan
dengan beritanya yang telah dihukum pancung oleh algojo dari Arab pada hari
Sabtu (18/6) yang disinyalir dia telah
melakukan pembunuhan terhadap perempuan Saudi Khairiya binti Hamid Mijlid .
Sangat disayangkan tindakan eksekusi dari Negara timur tengah yang tidak adanya
koordinasi dengan Kedutaan besar Arab Saudi , namun dalam hukum pidana Islam di
negara pusat penyebaran agama Islam tersebut , memang mengatur hukuman pancung
bagi setiap terdakwa yang telah di vonis bersalah melakukan pembunuhan,
sepertinya fiat justitia roet coelum (walaupun
langit akan runtuh, hukum/keadilan haarus tetap ditegakkan ) sangat melekat
dalam peraturan legislasi negara Arab. Jadi
secara yurisdiksi kita tidak bisa untuk mengobok-obok aturan dasar Negara
tersebut .
Memang Indonesia bukan Negara pertama yang
mendapatkan hukuman pancung tanpa pemberitahuan sebelumnya, sudah terlebih
dahulu Negara-negara yang juga mengirimkan Migrant (tenaga kerja) nya ke Arab
seperti India dan Nigeria. Meskipun Dubes Arab Saudi telah mengeluarkan
permohonan maaf kepada Kementrian Luar Negeri dan berjanji agar hal-hal seperti
ini tidak akan terjadi lagi kedepannya, namun reaksi keras telah ditunjukan
oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. Mulai dari Lembaga Swadaya Masyarakat,
mahasiswa, tokoh-tokoh masyarakat sampai ke tukang becak mengecam tindakan yang
sangat reaktif dari pemerintahan Arab Saudi tersebut.
Tindakan yang sangat reaktif ini bukan pertama kali
terjadi kepada para TKI, kasus Ruyati merupakan rentetan perjalanan kasus
kekerasan yang dialami oleh para TKI. Sebelum Ruyati, kita ketahui kasus
sumiyati yang disiram air keras dan diperkosa oleh majikannya sehingga wajahnya
hancur; kasus Darsem
yang sama seperti Ruyati akan dihukum pancung yang sekarang sudah agak relatif
aman karena pihak pemerintah sudah membayar uang tebusan kepada pihak Arab
Saudi ; Eli
Khoiriyah tidak mendapat gaji sepeser pun dan kerap disiksa ,disiram dengan air
keras selama 4 tahun lebih yang bekerja di Arab Saudi; pasangan suami istri
Hasin Taufik dan Sab'atun binti Jaulah, tengah dihukum 4,5 tahun penjara di
Arab Saudi dan bahkan terancam dipotong tangannya karena dituduh telah mencuri
barang perhiasan majikannya; dan masih banyak rentetan kasus – kasus lainnya
yang memiriskan hati kita.
ELIT REAKTIF
Kasus Ruyati ini menjadi salah satu fakta dari
sebuah dilema besar atas ketidak perhatian kaum elit kepada warga negaranya. Semangat
nasionalisme dari kaum elit telah bias ketika kekuasaan dan tahta telah
berbicara. Permasalahan TKI yang sejak zaman periode Ibuk Mega sampai sekarang
masih menjadi sebuah dilema. Mulai dari kemampuan pemerintah untuk membuat dan
memperbanyak lapangan kerja di negeri sendiri masih rendah , pendistribusian yang
tidak professional yang sering terjadinya praktik pengiriman TKI illegal sampai
kapasitas yang pas-pasan sering menjadi permasalahan selama ini, sehingga para
pahlawan devisa tidak memiliki pilihan karena beban kehidupan yang semakin
sulit menjadikan pekerjaan migrant ini menjadi solusi terakhir sehingga tidak lebih para TKI hanya dijadikan
sebagai seorang buruh dan/atau lebih kerennya dikenal dengan istilah Penata
Laksana Rumah Tangga (PLRT).
Pemberhentian pengiriman sementara ( moratorium )
menjadi salah satu reaksi dari para elit bangsa, khususnya DPR mendesak kepada
pemerintahan agar moratorium tersebut dipercepat pelaksanaannya. Namun yang
sangat disayangkan , kasus Ruyati ini seakan-akan menjadi bola panas yang
saling di lempar tanpa adanya sosok manusia (penguasa) yang berani bertanggung jawab atas kematian
Ruyati. Reaksi pemanggilan dan rencana pemecatan Dubes RI di Arab Saudi dirasa
terlalu berlebih-lebihan dibandingkan dengan melihat 303 WNI terancam hukuman mati mulai
dari tahun 1999-2011 yang tersebar dibeberapa Negara penerima TKI, seperti diantaranya
Arab Saudi dengan sekitar 22 orang dan Malaysia sekitar 180 orang. Seharusnya
pemerintah memikirkan hal-hal yang bersifat preventif ,jangan sampai terjadi
lagi kasus Ruyati untuk berikutnya.
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI
(BNP2TKI) dan Kementerian Luar Negeri digadang-gadangkan menjadi pihak yang
patut disalahkan dan harus dimintai pertanggung jawabannya atas kematian Ruyati
. Karena semenjak tahun 2010 pihak keluarga Ruyati telah memberitahukan
perkaranya kepada BNP2TKI dan hasilnya nonsen. Tidak adanya upaya penerusan
atas laporan , sehingga dengan keteledoran pihak pemerintah ini nyawa Ruyati
tidak bisa diselamatkan .
Banyak hal yang lebih urgent yang dapat dilakukan
oleh pemerintah, seperti penyediaan lapangan kerja yang cukup, pengaturan kerja
sama yang lebih komperehensif antara Indonesia dengan Negara penerima, UU yang
lebih mengacu kepada perlindungan dan kesejahteraan TKI, pengiriman bantuan
hukum kepada setiap TKI yang sedang bermasalah, penyeleksian kepada agent-agent
legal yang mengurus keberangkatan TKI secara professional, dan masih banyak
tindakan-tindakan lainnya yang lebih nyata keberpihakannya .
Pemberhentian pengiriman TKI ke luar negeri memang
tindakan nyata namun kita mesti tetap mengkaji aspek persiapan dan solusi atas
moratorium ini. Pemerintah harus cepat tanggap dalam menangani kasus-kasus yang
berkaitan dengan HAM ini. Hak dasar warga Negara khususnya terhadap TKI harus
diperhatikan, sebelum pengiriman dilakukan pemerintah harus mengadakan
perjanjian Memorandum of Understanding (MoU) dengan Negara penerima, untuk
menjamin kesejahteraan bagi TKI, jika tidak solusi yang lebih responsif harus
dilakukan oleh pihak pemerintah dengan memperbesar lapangan kerja dalam negeri.
Karena UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja, secara subtansi masih lemah akan
perlindungan dan kesejahteraan terhadap TKI/TKW di luar negeri, revisi UU
tersebut diharapkan menjadi sebuah produk hukum yang non-politis dan memang
mengkehendaki keamanan dan kesejahteraan bagi setiap TKI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar