welcome my blog's

Minggu, 26 Juni 2011

artikel " das sollen vs das sein"


oleh : ADE SATRIA MUSLIM
  KETUA KAM PEMBAHARUAN DAN ANGGOTA LAM&PK
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS

Masih dipermukaan  kasus  seorang “Besan”  Dr.Soesilo Bambang Yudhoyono , yang diberikan pembebasan bersyarat oleh Kemenkumham dengan pertimbangan kemanusiaan. Aulia Pohan yang ditahan karena kasus korupsi Deputi Gubernur Bank Indonesia, mendadak sakit layaknya orang strok dan dirawat di rumah sakit . Seketika itu timbulah suatu kebijakan manusiawi dari sang penguasa untuk memberikan suatu pembebasan bersyarat, padahal dilihat dalam pasal 15 KUHP tidak diperbolehkan terdakwa mendapatkan suatu pembebasan bersyarat setelah dia menjalani 2/3 dari jumlah masa tahanan atau sekurang-kurangnya 9 bulan. Sedangkan besan Presiden tersebut belum memenuhi prasyarat yang ada dalam KUHP, karena beliau belum menjalani sepenuhnya 2/3 dari masa tahanannya. Yang seharusnya terjadi (das sollen)   kontradiktif  dengan apa yang terjadi ( das sein ).
Pengilustrasian kasus di atas merupakan bentuk  apa yang dicita-citakan dalam dunia utopia sehingga menjadi sebuah keinginan dan harapan setiap manusia (das sollen), dengan berprinsipkan kepada legalitas regulation yang  bersifat daya mengikat ( presumption of innocence) menjadi topangan padu bagi setiap pelaksanaan tatanan kehidupan , tidak relevan dengan apa yang sudah terjadi bahkan justru kontradiktif dengan apa yang direncanakan. Sebuah produk hukum mencita-citakan keutuhan dan kesejahteraan rakyat, apabila terdapat kecacatan dalam subtantif menjadi kewenangan MK untuk mentelitinya. Namun pada produk hukum yang dianggap sudah layak menjadi sebuah regulasi, tidak adanya keharmonisan antara isi dan prakteknya di lapangan. Sebenarnya aparatur Negara yang kurang responsif untuk melakukan upaya “Pro Justicia” ataukah kesadaran dan keinginan masyarakat untuk menjadikan system hukum yang lebih efektif dan ada hubungan sinergi dengan cita luhur Negara hukum.
PERSELINGKUHAN HUKUM
Argument dan penafsiran sering dikedepankan demi mencapai kepentingan. Dengan penafsiran propaganda yang menjadikan masyarakat terpengaruh dengan mudah bahkan hanya sekedar penafsiran gramatikal yang tidak merubah subtansi dari sebuah pengaturan, menjadi daya tawar yang besar , sehingga aparat penegak hukum tidak berkutik dan sering terbuai atas pernyataan orang-orang yang berlindung di bawah kekejaman dan perselingkuhan hukum tersebut. Terkadang sebuah pengaturan yang sudah melewati proses legislasi tidak bertaring ketika sebuah penafsiran dan pengelakan atas argument orang-orang yang mempunyai posisi pengaruh di negeri ini sudah berbicara . Ditambah dengan sebuah golongan orang-orang politik yang berusaha untuk memanipulasi suatu keadaan demi menghilangkan sebuah pamor buruk dan selalu melakukan suatu politik pencintraan.
Moh.Nazzarudin, seorang politikus bangsa yang berkecimbung disebuah parpol besar di negeri ini, menjadi orang yang sedang hangat diperbincangkan karena diduga terlibat kepada praktik-praktik bias koruptif. Dengan dalih berobat ke Singapura menjadi alasan mengundur-undur bahkan menolak untuk diperiksa oleh penegak hukum. Karena merupakan kader dari sebuah parpol yang besar, seakan-akan partai mejadi pembackup si Nazarudin tersebut, yang katanya akan menindak tegas kader-kader yang mungkir dan melanggar kode etik kepartaian, namun pada nyatanya partai seakan-akan bertindak sebagai pembela menutupi kesalahan kadernya. Kekuasaan selalu dimanipulasi oleh  sebuah kepentingan, yang ujung-ujungnya rakyat yang menjadi korban pembodohan.
Masih banyak hal-hal yang berbau kontradiktif terjadi belakangan  di negeri ini. Misalnya dalam hal aparat penegakan hukum dalam memutuskan sebuah perkara. Di meja hijau sering hal ini terjadi , hakim yang menjadi  panglima dalam pengadilan kerap melakukan disparitas keadilan. Terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana mendapatkan vonis yang tidak seimbang dengan perbuatannya, bahkan tidak jarang kita temui terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas oleh hakim-hakim nakal. Disparitas yang sangat ironis ketika seorang terdakwa yang ketahuan mencuri sebiji buah kakao dihukum layaknya telah melakukan pencurian kelas kakap, sedangkan  pencuri kelas kakap yang sebenarnya yang membuat kesengsaraan dan kegeraman rakyat, divonis hukuman dengan banyaknya petimbangan. Hakim “S” yang saat ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh publik , diduga telah melakukan putusan-putusan yang tidak seimbang dengan dakwaan dari JPU dan bahkan diberikan vonis bebas. Karena selama proses pemeriksaan , hakim tersebut diduga menerima uang panas dari terdakwa-terdakwa yang secara umum terlibat pada kasus korupsi yang dilakukan atas nama  sebuah kekuasaan dan kepentingan. Hakim lebih cenderung mempertimbangkan uang haram , dibandingkan mempertimbangkan aspek-aspek yang terjadi dalam persidangan , sehingga tidak terkejut kita melihat sebuah perkara yang sedang berlangsung dan hakimnya ketiduran saat menjalani proses pemeriksaan tersebut.
KAPASITAS TAK BERTARING
Menjadikan sebuah cita-cita tercapai harus diikuti oleh dua hal yang sangat krusial, usaha dan kapasitas. Ketika usaha dirasakan sudah maksimal, maka hal penentu tercapainya suatu keinginan adalah capacity.  Seberapa besar kapasitas yang dimiliki dan pengaruhnya terhadap suatu profesi yang dijalani terutama di bidang penegakan hukum, dan menggali potensi-potensi yang ada guna terciptanya stabilitas aparat penegak hukum. Yang menjadi masalah kapasitas yang diharapkan itu sangat minim keberadaanya. Mayoritas telah mencorek dinamika prosedur penegakan hukum, karena masih ada sebenarnya kaum-kaum minoritas yang memiliki capacity tersebut, namun ruang pergerakannya sering di batasi oleh kaum mayoritas. Orang-orang yang berkualitas dan professional terkadang menjadi boomerang bagi aparat-aparat yang haus akan sebuah pencapaian terhadap kepentingannya, sehingga selalu ada jalan penghambat untuk orang-orang yang pintar agar terhambat langkah-langkahnya. Walaupun sudah adanya lembaga-lembaga Negara  atau LSM yang berkecimbung kepada pengabdian masyarakat dan hukum, namun ketika politik kekuasaan yang besar dan kepentingan berbicara , maka apapun upaya yang dilakukan akan sulit untuk tercapai.
Di sini terlihat, betapa carut marutnya aparat penegak hukum dalam tugas dan wewenangnya . kemampuan yang dimiliki tidak relevan dengan amanat yang dipercayakan oleh rakyat serta tugas yang telah diatur dalam sebuah regulasi. Recruitment yang asal-asalan yang penuh dengan kolusi , korupsi dan nepotisme menjadi faktor  penyebab kemampuan yang sangat standar yang dimiliki oleh aparat penegak hukum. Orang-orang yang terlibat dengan sebuah kekuasaan , semakin tinggi kedudukan kekuasaan seseorang maka semakin rendah kewajiban dari suatu instansi atau person, sehingga potensi korupsi akan cenderung sering terjadi.
Jadi, dengan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum yang masih lemah, mental aparatur yang masih dipermukaan dan  kesadaran semua golongan merupakan hal yang penentu akan kemajuan sebuah bangsa; demi tercapainya cita-cita luhur bangsa yang tertuang dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar