oleh : ADE SATRIA MUSLIM
KETUA KAM PEMBAHARUAN DAN ANGGOTA LAM&PK
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS
Masih dipermukaan kasus
seorang “Besan” Dr.Soesilo
Bambang Yudhoyono , yang diberikan pembebasan bersyarat oleh Kemenkumham dengan
pertimbangan kemanusiaan. Aulia Pohan yang ditahan karena kasus korupsi Deputi
Gubernur Bank Indonesia, mendadak sakit layaknya orang strok dan dirawat di
rumah sakit . Seketika itu timbulah suatu kebijakan manusiawi dari sang penguasa
untuk memberikan suatu pembebasan bersyarat, padahal dilihat dalam pasal 15
KUHP tidak diperbolehkan terdakwa mendapatkan suatu pembebasan bersyarat
setelah dia menjalani 2/3 dari jumlah masa tahanan atau sekurang-kurangnya 9
bulan. Sedangkan besan Presiden tersebut belum memenuhi prasyarat yang ada
dalam KUHP, karena beliau belum menjalani sepenuhnya 2/3 dari masa tahanannya. Yang
seharusnya terjadi (das sollen) kontradiktif dengan apa yang terjadi ( das sein ).
Pengilustrasian kasus di atas merupakan bentuk apa yang dicita-citakan dalam dunia utopia sehingga
menjadi sebuah keinginan dan harapan setiap manusia (das sollen), dengan
berprinsipkan kepada legalitas regulation yang
bersifat daya mengikat ( presumption of innocence) menjadi topangan padu
bagi setiap pelaksanaan tatanan kehidupan , tidak relevan dengan apa yang sudah
terjadi bahkan justru kontradiktif dengan apa yang direncanakan. Sebuah produk
hukum mencita-citakan keutuhan dan kesejahteraan rakyat, apabila terdapat
kecacatan dalam subtantif menjadi kewenangan MK untuk mentelitinya. Namun pada
produk hukum yang dianggap sudah layak menjadi sebuah regulasi, tidak adanya
keharmonisan antara isi dan prakteknya di lapangan. Sebenarnya aparatur Negara
yang kurang responsif untuk melakukan upaya “Pro Justicia” ataukah kesadaran
dan keinginan masyarakat untuk menjadikan system hukum yang lebih efektif dan
ada hubungan sinergi dengan cita luhur Negara hukum.
PERSELINGKUHAN HUKUM
Argument dan penafsiran sering dikedepankan demi
mencapai kepentingan. Dengan penafsiran propaganda yang menjadikan masyarakat
terpengaruh dengan mudah bahkan hanya sekedar penafsiran gramatikal yang tidak
merubah subtansi dari sebuah pengaturan, menjadi daya tawar yang besar ,
sehingga aparat penegak hukum tidak berkutik dan sering terbuai atas pernyataan
orang-orang yang berlindung di bawah kekejaman dan perselingkuhan hukum
tersebut. Terkadang sebuah pengaturan yang sudah melewati proses legislasi
tidak bertaring ketika sebuah penafsiran dan pengelakan atas argument orang-orang
yang mempunyai posisi pengaruh di negeri ini sudah berbicara . Ditambah dengan
sebuah golongan orang-orang politik yang berusaha untuk memanipulasi suatu
keadaan demi menghilangkan sebuah pamor buruk dan selalu melakukan suatu
politik pencintraan.
Moh.Nazzarudin, seorang politikus bangsa yang
berkecimbung disebuah parpol besar di negeri ini, menjadi orang yang sedang
hangat diperbincangkan karena diduga terlibat kepada praktik-praktik bias
koruptif. Dengan dalih berobat ke Singapura menjadi alasan mengundur-undur
bahkan menolak untuk diperiksa oleh penegak hukum. Karena merupakan kader dari
sebuah parpol yang besar, seakan-akan partai mejadi pembackup si Nazarudin
tersebut, yang katanya akan menindak tegas kader-kader yang mungkir dan
melanggar kode etik kepartaian, namun pada nyatanya partai seakan-akan
bertindak sebagai pembela menutupi kesalahan kadernya. Kekuasaan selalu dimanipulasi
oleh sebuah kepentingan, yang
ujung-ujungnya rakyat yang menjadi korban pembodohan.
Masih banyak hal-hal yang berbau kontradiktif
terjadi belakangan di negeri ini.
Misalnya dalam hal aparat penegakan hukum dalam memutuskan sebuah perkara. Di
meja hijau sering hal ini terjadi , hakim yang menjadi panglima dalam pengadilan kerap melakukan
disparitas keadilan. Terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana mendapatkan
vonis yang tidak seimbang dengan perbuatannya, bahkan tidak jarang kita temui
terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas oleh hakim-hakim nakal. Disparitas
yang sangat ironis ketika seorang terdakwa yang ketahuan mencuri sebiji buah
kakao dihukum layaknya telah melakukan pencurian kelas kakap, sedangkan pencuri kelas kakap yang sebenarnya yang
membuat kesengsaraan dan kegeraman rakyat, divonis hukuman dengan banyaknya
petimbangan. Hakim “S” yang saat ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh
publik , diduga telah melakukan putusan-putusan yang tidak seimbang dengan
dakwaan dari JPU dan bahkan diberikan vonis bebas. Karena selama proses
pemeriksaan , hakim tersebut diduga menerima uang panas dari terdakwa-terdakwa
yang secara umum terlibat pada kasus korupsi yang dilakukan atas nama sebuah kekuasaan dan kepentingan. Hakim lebih
cenderung mempertimbangkan uang haram , dibandingkan mempertimbangkan
aspek-aspek yang terjadi dalam persidangan , sehingga tidak terkejut kita
melihat sebuah perkara yang sedang berlangsung dan hakimnya ketiduran saat menjalani
proses pemeriksaan tersebut.
KAPASITAS TAK BERTARING
Menjadikan sebuah cita-cita tercapai harus diikuti
oleh dua hal yang sangat krusial, usaha dan kapasitas. Ketika usaha dirasakan
sudah maksimal, maka hal penentu tercapainya suatu keinginan adalah capacity. Seberapa besar kapasitas yang dimiliki dan
pengaruhnya terhadap suatu profesi yang dijalani terutama di bidang penegakan
hukum, dan menggali potensi-potensi yang ada guna terciptanya stabilitas aparat
penegak hukum. Yang menjadi masalah kapasitas yang diharapkan itu sangat minim
keberadaanya. Mayoritas telah mencorek dinamika prosedur penegakan hukum,
karena masih ada sebenarnya kaum-kaum minoritas yang memiliki capacity
tersebut, namun ruang pergerakannya sering di batasi oleh kaum mayoritas.
Orang-orang yang berkualitas dan professional terkadang menjadi boomerang bagi
aparat-aparat yang haus akan sebuah pencapaian terhadap kepentingannya, sehingga
selalu ada jalan penghambat untuk orang-orang yang pintar agar terhambat
langkah-langkahnya. Walaupun sudah adanya lembaga-lembaga Negara atau LSM yang berkecimbung kepada pengabdian
masyarakat dan hukum, namun ketika politik kekuasaan yang besar dan kepentingan
berbicara , maka apapun upaya yang dilakukan akan sulit untuk tercapai.
Di sini terlihat, betapa carut marutnya aparat
penegak hukum dalam tugas dan wewenangnya . kemampuan yang dimiliki tidak
relevan dengan amanat yang dipercayakan oleh rakyat serta tugas yang telah
diatur dalam sebuah regulasi. Recruitment yang asal-asalan yang penuh dengan
kolusi , korupsi dan nepotisme menjadi faktor penyebab kemampuan yang sangat standar yang
dimiliki oleh aparat penegak hukum. Orang-orang yang terlibat dengan sebuah
kekuasaan , semakin tinggi kedudukan kekuasaan seseorang maka semakin rendah
kewajiban dari suatu instansi atau person, sehingga potensi korupsi akan
cenderung sering terjadi.
Jadi, dengan peningkatan kapasitas aparat penegak
hukum yang masih lemah, mental aparatur yang masih dipermukaan dan kesadaran semua golongan merupakan hal yang
penentu akan kemajuan sebuah bangsa; demi tercapainya cita-cita luhur bangsa
yang tertuang dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar